Sampai Jumpa Kawanku

“Kalau masih banyak yang menganggap Brian personel baru, Brian ini sudah bergabung selama setengah usia Sheila On 7…” 

Kata-kata itu diucapkan oleh Akhdiyat Duta Modjo di hadapan sekitar 4,500 orang saat Sheila On 7 menggelar Konser ’16th Anniversary’ Sheila on 7 satu dekade lalu di kota kelahirannya, Yogyakarta. Brian Kresno Putro adalah drummer yang bergabung selepas Anton Widiastanto mengundurkan diri beberapa bulan setelah perilisan album keempat Pejantan Tangguh pada tahun 2004. Ia secara resmi masuk dalam line-up band bentukan tahun 1996 itu di album 507 (2006) setelah sebelumnya membantu di rangkaian tur dan album The Very Best of Sheila On 7 (2005). 

Dalam artikel Sebuah Kisah Klasik di Rolling Stone edisi Februari, masuknya Brian ini berada di puncak atau mungkin jurang masa tidak sehat Sheila On 7. Belum selesai luka-luka saat Anton disusul Sakti memutuskan mundur, komunikasi antarpersonelnya pun berantakan. Saking kacaunya, hanya perlu sedikit lagi masalah untuk menyelesaikan kisah klasik Sheila On 7. Brian dalam artikel yang ditulis Hasief Ardiasyah itu mengakui menyimak berbagai komentar soal posisinya sebagai pengganti Anton. Ia mengaku sebagai penggemar karakter permainan Anton. Di lain sisi, ia juga punya ciri khas. Power bak badak menjadi energi di album-album Sheila On 7 selanjutnya hingga rilisan terkakhir single “Film Favorit” yang membuat mereka bersinar dan berpijar seperti dulu kala  setelah sempat beberapa tahun sempat menjadi yang terlewatkan. 

Setelah 18 tahun bergabung, Brian memutuskan mundur. 

Sekitar tahun 2016 saya pernah melakukan interview by phone dengan Brian untuk feature album Kisah Klasik Untuk Masa Depan. Brian bercerita tentang awal mula interaksinya dengan Sheila On 7 sampai akhirnya bergabung selama hampir dua dekade.

— 

Brian Kresno Putro hanya bisa menelan ludah saat pamannya, Ito Nurarito, memberinya sekeping kaset Kisah Klasik Untuk Masa Depan saat berkunjung ke sosok yang jadi panutan sekaligus “guru spiritualnya” dalam bermusik di suatu malam tahun 2001. Ito, yang lebih dikenal dengan nama panggung Ito Punk, adalah pembetot bass merangkap vokalis di grup new wave Punk Modern Band yang seangkatan dengan KLa Project. “Ini album bagus banget,” kata Brian menirukan pamannya. 

Brian, yang saat itu sudah menapaki karir musisi profesional dengan bergabung di grup band Tiket, butuh asupan referensi pamannya untuk masuk ke kancah musik nasional. Saat itu, jelas Brian, tren musik mulai dijangkiti demam band-band acid jazz dan soul seperti The Groove, Brown Sugar, sampai T-Five. “Aku berharap dia bakal ngasih referensi yang lebih bergaya,” ujar Brian yang resmi menduduk kursi drummer Sheila On 7 sejak album 507 ini sembari terbahak.

Keduanya lalu mengadakan hearing session. Untuk pertama kalinya Brian mendengarkan Sheila On 7 secara utuh setelah sebelumnya hanya sambil lalu saja. “Pertama kali aku buka sampulnya saja aku punya feeling aku bakal suka album ini,” ujar Brian. 

Di sampul album garapan rumah desain Indieguerillas dari Yogyakarta ini terpajang foto-foto aktivitas Sheila On 7 saat tur, konser, juga saat sedang berada di studio. “Yang paling aku ingat lagu “Just For My Mom” ada foto Adam dan Eross gitaran bareng-bareng di kursi belakang bis, lalu aku liat ini ciptaan mereka berdua,” jelasnya. 

Menurut Brian, perjalanan tiap lagu bisa direpresentasikan dengan bagus dalam selembar sampul album. Juga adanya foto bersama manajer mereka saat itu, Anton Kurniawan, yang disebut sebagai personel keenam. “Itu bikin musisi jadi contoh kalau band harus menghargai manajernya,” jelas Brian. 

Detail-detail di sampul album masih diingat jelas oleh Brian, termasuk notes yang ditulis Eross saat mengingat saat-saat terakhir bersama mendiang ayahnya. “Ada banyak poin yang bisa mengembangkan imajinasi pendengar dari visual. Kita bisa ngerasain perih dan tegarnya Eross, ada foto misteriusnya Adam. Aku inget semua itu.”

Dari sisi materi lagu, Brian menganggap lagu ini punya materi yang begitu beragam. Mulai dari lagu cinta untuk pacar, ode untuk persahabatan, pesan bagi selingkuhan, sampai penghargaan khusus untuk sosok ibu. “Dulu aku lihat lagu “Just For My Mom” ini kok cemen banget,” katanya sambil tertawa. Namun karena ada kata mom lagu itu dirasa Brian menjadi kuat. Kalau ditulisnya buat darling atau baby itu malah jadi kacau. Kalau mom jadi membuat orang sedewasa apapun akan kembali masa kecilnya dan ingat saat-saat bersama ibunya.”

Tapi justru “Tunjuk Satu Bintang” yang sampai sekarang punya ikatan emosional dengan Brian, juga istrinya. “Waktu itu kita masih pacaran. Suatu saat kita ngobrol bareng tentang tujuan-tujuan hidup. Aku ingat saat itu dia bilang sama aku untuk tunjuk satu pedoman untuk hidup sebagai musisi. Kata-kata coba kau tunjuk satu bintang itu jadi sangat dekat buat aku dan itu sangat berhasil di kehidupanku,” ungkap Brian panjang lebar. 

Menurutnya sampai hari ini lagu itu selalu mengiringi saat ia dan istrinya duduk bersama dan mengevaluasi ulang apa yang sudah mereka dapatkan sejauh ini. “Begitu masuk dari pertama kita udah dibawa jiwanya ke alunan orkestra  buat jalan.”

Tunjuk Satu Bintang

Saking magisnya lagu berdurasi empat menit dan 18 detik itu, Brian mengaku sulit untuk menginterpretasi ulang kala berada di panggung. “Aku selalu jawab “Tunjuk Satu Bintang” tiap ditanya anak-anak, tapi tiap selesai manggung aku selalu merasa kurang karena lagu itu sudah bagus seperti apa adanya,” akunya. 

Sejauh ini Brian baru merasa benar-benar puas membawakan lagu tersebut saat tampil di Rolling Stone Café, Jakarta Selatan pada pentas musik sebuah stasiun TV swasta pada bulan Februari lalu. Padahal Eross melakukan kesalahan saat intro karena luput menyetel nada gitarnya. “Harap dimaklumilah kalau live,” pinta Brian seraya tertawa.

 “Tunggu Aku Di Jakarta” menjadi nomor favorit lain dari sosok yang membantu sideproject Eross di Jagostu ini. Secara aransemen mungkin tidak semewah “Tunjuk Satu Bintang”, namun bagi Brian kekuatannya ada di tema lagu. “Waktu itu jarang ada band yang kasih tema lagu untuk sabar menunggu saat kita sedang berusaha meraih mimpi. Mungkin baru Slank ya yang punya di “Kirim Aku Bunga”. Liriknya cowok banget,” terangnya. 

Sedangkan “Pagi Yang Menakjubkan” diakui Brian memberi semacam tantangan bagi para musisi untuk mengulik sesuai gayanya masing-masing. Untuk deretan lagu-lagu hits dirinya tak banyak berkomentar . “Ibaratnya kamu dalam tahap sudah nggak bisa complaint. Ini album yang akan membuat band lain-lain berharap dapat membuat album seperti ini paling tidak sekali dalam karirnya.”

Sound drum Anton yang khas dan klasik menjadi satu hal penting yang dipelajari Brian di album ini“Saat itu belum banyak band punya ciri khas sound drum yang konsisten dari album ke album. Mas Stephan Santoso menurutku jenius karena waktu itu dia meng-handle band-band lain seperti Padi dan Cokelat tapi bisa mengarahkan karakter sound-nya sesuai karakter band,” papar Brian. Menurut Brian, ini membalikkan perspektif kalau sound engineer hanya manut saja di studio rekaman. “Ternyata sound engineer bisa bikin karakter kuat bagi sebuah band.”

Stephan Santoso, yang diganjar gelar Penata Rekam Terbaik di ajang AMI Awards 2001 untuk ramuannya di album ini, mengaku kalau Kisah Klasik Untuk Masa Depan adalah salah satu album paling mengesankan selama bekerja sebagai peramu rekam profesional. “Album kedua Sheila On 7, itu awal saya dapat teknologi untuk mixing, memadukan softwaredigital dengan analog. Menghasilkan karya bareng Sheila On 7 waktu itu kita dapat banget mood-nya dan materinya juga bagus. Rasanya dapat, secara teknologi juga dapat,” ujar Stephan.

Di tengah-tengah sesi dengar, pamannya tiba-tiba memberi semacam misi. “Brian, kamu coba cari tahu kenalan sama mereka. Seharusnya kamu jadi drummer Sheila On 7,” ungkap Brian. Saat itu Brian hanya sambil lalu saja dengan titah pamannya. Toh, dia sedang sibuk dengan Tiket yang baru saja mengeluarkan album pertama dan belum khatam benar mendengarkan lagu-lagu milik Sheila On 7. Tapi semuanya kemudian berubah begitu cepat.

Tahun 2004 adalah kali pertama Brian terlibat dalam proyek musik bersama personel Sheila On 7 setelah bertemu di ajang Soundrenaline 2003. Adam mengajaknya untuk membantu mengisi drum di album kompilasi Bass Heroes. Latihan pertama dilakukan di studio milik nenek Brian di daerah Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Tempat itu  jadi situs bersejarah bagi Brian karena jadi tempat membangun proyek-proyek musiknya sejak ia SMA. “Mulai dari Susu bareng Nikita Dompas sampai Tiket.” 

Di tahun yang sama Brian lulus dari Universitas Atma Jaya, Jakarta dan Tiket dalam masa hiatus. Ia lalu mendapat tawaran pekerjaan sebagai session musician di Kerajaan Brunei Darussalam selama tiga bulan. Setelah beres dari Brunei, Brian belum punya rencana untuk melanjutkan proyek-proyek musiknya. Saat sedang bermalas-malasan di rumah orang tuanya, Adam tiba-tiba datang lewat sambungan telepon, “Bri, kamu mau bantuin anak-anak?.” And the rest is history.

20 Tahun Kisah Klasik Untuk Masa Depan: “Nggak Ada Beban Apapun Saat Rekaman”

Chart MTV Ampuh di Majalah Gadis edisi Oktober 2020 (dokumentasi pribadi)

Tiga personel tersisa dari formasi Kisah Klasik untuk Masa Depan memutar kembali ingatan bagaimana mempersiapkan kelahiran si jabang bayi ajaib yang membawa cah-cah Jogja itu ke pencapaian tertinggi selama karir bermusik mereka. Wawancara dilakukan pada 20 Agustus 2016 selepas mereka menyelesaikan panggung di Bekasi. Tidak ada Brian Kresnoputro malam itu. Drummer gempal bertenaga badak itu tengah dalam masa duka selepas kepergian ibunda tercinta.

(Note: saya menambahkan beberapa fakta tentang lagu-lagu dalam album tersebut yang pada saat wawancara belum terungkap).

Ada beban saat memulai rekaman album ini karena kesuksesan album pertama?

Adam: Ora (tidak) sih, nggak ada beban apapun saat rekaman

Duta:  Aku begitu dengar materinya waktu selesai rekaman, aku punya keyakinan kalau album ini penjualannya bakal bagus.

Eross: Tahun itu kami sangat padat, manggung, lalu di sela-sela manggung bikin rekaman, kadang terpotong. Hampir nggak ada ekspektasi. Kita bener-bener nggak mikir, aku punya mood bikin lagu, ketemu anak-anak, jamming, lalu rekaman. Bahkan nggak ada ketakutan angka penjualan bakal berapa.

Apa yang membuat yakin?

Duta: Saat album pertama sebagai band yang berangkat di Jogja lalu rekaman album di Jakarta, aku belum bisa meraba, belum punya bayangan apa-apa. Aku waktu itu cuma nyanyi lagu yang aku senangi, lagu dari bandku yang aku senangi, ternyata hasilnya bisa seperti itu.  Album kedua ini aku waktu rekaman lebih senang lagi. Di satu sisi aku merasa kemasan musiknya lebih matang tapi secara materi sebenernya nggak jauh berbeda sama album pertama. Itulah kenapa aku punya optimisme yang tinggi. Aku lebih siap untuk rekaman album ini dibanding saat album pertama dulu. Maksudnya merasa lebih punya modal. Aku nggak yakin akan lebih laku tapi paling tidak sama dengan yang pertama.

Sony mematok  target penjualan?

Adam:  Dari Sony begitu terima demo bilang, “Sip, materinya oke” (tertawa).

Berapa lagu yang disetorkan untuk demo album ini?

Duta: Ada belasan sih, album pertama yang lebih banyak. Tapi tetep ada sih yang masuk unreleased.

Adam:  Antara 21 sampai 22 lagu waktu album pertama.

Berapa lama rekaman album ini?

Duta: Sebelum masuk era rekaman di Jogja mulai album 507, kita selalu tertib saat rekaman karena take di Jakarta semua dan ditarget berapa shift harus sudah selesai. Aku lupa, pokoknya antara dua sampai tiga minggu.

Suksesnya album pertama mempengaruhi ke peningkatan di proses produksi album ini?

Eross: Vibe saat rekaman yang album ini lebih tertata, nggak grusah-grusuh (tergesa-gesa).  Album pertama kan shift dibatasi, yang ini lebih bisa eksplor dan bisa minta string section asli. Lebih terkonsep. Dengan fasilitas-fasilitas tadi kita jadi lupa target penjualan.

Duta: Aku bercermin penampilan live-ku sangat kurang. Goal-ku ingin nyanyi di panggung lebih baik. Cuma itu saja yang pengen aku kejar. Kepentingan kita memperbaiki nilai minus belum menampilkan live performance yang baik sebagai band yang kata orang jutaan kopi.

Ada nama-nama terkemuka seperti komposer Erwin Gutawa dan violinist Maylaffayza di album ini. Ini memang permintaan Sheila On 7?

Eross: Ketika ditanya sama Pak Jan siapa yang pengen mengisi string-nya,  nama pertama yang aku pikirkan ya  Erwin Gutawa. Kalau Fayza dulu karena mau dikontrak sama Sony, mungkin buat bridging ke album. Sebetulnya kita lebih butuh suara cewek untuk backing vocal, lalu kita coba Fayza tapi kurang cocok. Justru permainan violin dia ngasih ambience lain di lagu.

Tapi kebutuhan lagunya memang memerlukan nama-nama tadi?

Eross: Kalau itu kita memang ingin pakai string, tapi kita nggak tau siapa komposer yang tepat. Sampai keluar nama Erwin Gutawa ya itu dari Sony.

Cocok dengan lagunya?

Duta: Oh jelas, Erwin Gutawa gitu (tertawa).

Apa personel Sheila On 7 waktu itu mengamati angka penjualan Kisah Klasik Untuk Masa Depan setiap minggu?

Eross: Enggak, mungkin karena jadwal manggung kami yang padat. Tapi setiap dikasih tahu beritanya selalu berita baik. Dulu aku sama Adam pas album pertama yang sering cemas dan ngecek toko kaset karena album pertama itu perjudian. Album kedua istilahnya sudah take-off lah.

Adam : Sebetulnya sudah kelihatan karena begitu dengar berita mau rilis di toko kaset sudah banyak yang pre-order.

Duta: Popeye (toko rekaman fisik terkemuka di Yogyakarta, saat ini sudah tutu-, -red) sudah mulai ada yang pesan pre-order. “Alhamdulillah albummu ki akeh banget sing tuku. Apik banget (Alhamdulillah, albummu banyak yang mau beli, bagus sekali),” kata bosnya Popeye.

Akhirnya album bisa melebihi angka penjualan album pertama. Ada yang berubah dengan kehidupan pribadi personel Sheila On 7?

Duta: Buat kita nggak ada beda. Tapi justru hal itu yang bikin kekurangan kita.

Adam:  Orang-orang ekspektasinya lebih.

Duta: Orang-orang ekskpektasinya kita sudah jadi idola. Ada momen dimana kita harus sadar kita idola, panutan. Bermusik dan segala macam.

Eross: Menurutku jadi overexposed. Akhirnya banyak yang muak tiap denger berita kita. Kita sebetulnya tidak ingin terus diberitakan. Tapi karena kita masih naif, masih lugu banget, setiap ada yang mau wawancara bahkan foto rumah malah kita persilahkan. Baru bisa mikir sekarang harusnya kita nggak perlu ekspos sampai sebegitunya, istilahnya melenceng darri awal yang kita lakukan. Bungkusannya jadi mirip boyband.

Saya amati memang saat itu  Sheila On 7 justru malah sering tampil di majalah remaja putri dan semakin mirip dengan citra sebagai boyband ya?

Adam:  Mungkin pada awal rencananya label memang begitu (tertawa). Ya kalau kita pertama image-nya kan dari daerah.

Duta:  Pada akhirnya anak-anak sadar kalau kita ini pemain band bukan boyband karena kita tahu citra boyband ya sekumpulan cowok-cowok yang nyanyi nggak main alat. Mungkin pandangan itu yang buat anak-anak jadi nggak terlalu nyaman, tapi alhamdulillah anak-anak nggak kemudian jadi sok garang. Ya karena roots-nya Sheila On 7 kan band pop. Kalau cewek-cewek banyak yang seneng kan wajar sama yang indah-indah, yang manis. Tapi anak-anak kemudian sadar kalau kita beda dengan band-band pop lain karena kita juga ada bluesnya, ada rock, gak cuma pop banget. Anton juga ngedrum ada pengaruh jazznya. Jadi yang buat Sheila On 7 unik ya itu. Aku gak pernah kebayang pakai sepatu  boot tinggi. Bukan bermaksud seperti yang itu lho ya (tertawa). Kami tahu diri lah, band kami seperti ini. Kami juga nggak ingin membawa band ini lebih garang.

Eross: Mungkin itu bentuk naifnya kita. Semuanya harusnya lebih bisa disortir. Di usia itu Sheila On 7 lagi berkembang. Ada ledakan musikalitas. Harusnya itu yang lebih diperhatikan oleh kami sendiri dan label.

Publisitas tadi membuat personel terganggu?

Adam: Kalau keluarnya di majalah pria dewasa mungkin kita bingung juga (tertawa).

Duta: Aku waktu itu masih 20 tahun, tenaga masih kuat untuk melakukan apa saja. Passion-nya bener-bener cuma ngeband dan melakukan hal apa saja demi band.

Adam:  Isih turah-turah lah (masih banyak tersisa) tenaganya (tertawa).

Aku baru tahu kalau desain sampul album ini seperti sperma. Jadi filosofinya album ini menyebar kemana-mana.


Biasanya publisitas media yang begitu besar di sisi lain memunculkan pihak-pihak yang tidak suka. Sheila On 7 juga mengalami itu?

Eross: Haters sudah ada dari album pertama. Sejak “Dan…” sudah mulai overexposed. Media sudah menyorot ke kehidupan kami bukan musikalitas. Kami gak menyalahkan siapa-siapa. Semuanya masih serba meraba. Dari band, manajemen, label, juga media. Kalau saat ini sifatnya sudah lebih membangun, ada ktitikus musik yang mengkritik musik kami. Itu yang aku suka. Jadi challenge buat kami.

Duta: Kita orang yang introspeksi diri. Nggak cuma larut lalu kecewa. Kita gali sebenernya apa sih problemnya tapi kita berusaha nggak kemudian kita jadi orang lain juga.

Adam: Waktu aku masuk ke toko kaset di Tunjungan Plaza tiba-tiba aku didatengin orang. Dia bilang musiknya Sheila On 7 itu musik banci sambil kasih jari tengah. Aku kaget banget dan cuma diam saja. Pas anak-anak keluar mereka heran kok mukaku pucat sekali  (tertawa)

Di album Kisah Klasik Untuk Masa Depan ini Sheila On 7 mulai sadar membangun citra dan merk dagang, salah satunya dengan membuat logo band yang dipertahankan sampai album 507. Juga sampul album yang lebih terkonsep. Siapa yang pertama punya ide?

Adam:  Itu dari mas Anton (Anton Kurniawan, -red)  manajer kita waktu itu.

Duta:  Kita memang….tidak punya ide (tertawa). Yang jelas Sheila On 7 berangkat dari band SMA yang memang seneng ngeband. Dibilang kita mikir branding, mikir image , itu jauh banget. Jadi segala hal-hal yang terkait itu dari manajemen dan label sih sebetulnya.

Adam: (menunjuk fotonya di sampul album)  Liat ini nih aku cuma pakai kaos barong Bali (tertawa).

Eross: Logo dan sampul album ini yang bikin Santi dan Otomm dari Indieguerillas. Anak-anak nggak ada masukan apa-apa. Aku cuma bilang ke mas Anton untuk memasukkan foto-foto saat tur ke album karena banyak band yang melakukan itu dan aku suka. Dan ternyata aku baru tahu setelah beberapa tahun kemudian aku baru tahu kalau desain sampul album ini seperti sperma. Jadi filosofinya album ini menyebar kemana-mana.

***

Perbincangan lalu beralih ke pembahasan 12 lagu di album Kisah Klasik Untuk Masa Depan.  Dari jumlah itu Eross hampir memegang kendali penuh dalam penciptaan lagu, termasuk hits single “Bila Kau Tak Disampingku”, “Sahabat Sejati”, dan tentu saja “Sephia”.

Personel Sheila On 7 masih memberikan otoritas untuk menulis keseluruhan lagu?

Eross: Sebetulnya ngalir. Siapa yang ada lagu monggo (silahkan). Cuma kondisi waktu itu buat beberapa personel belum memberi waktu dan ruang  untuk belajar berkembang. Jadwal kita padat sekali. Keluar kamar hotel susah, akhirnya di hotel cuma nonton TV dan makan. Mungkin kalau nggak se-hype itu secara musikalitas saya dan personel lain bisa lebih berkembang. Aku juga nggak menyalahkan.

Waktu saya berkesempatan mewawancarai Sakti, dia bilang kalau lirik kotak sejuta mimpi di “Sahabat Sejati” itu sebetulnya merujuk ke gitarnya. Apa benar?

Dulu aku sering main sama Adam dan Sakti untuk urusan aransemen gitar. Waktu nulis lagu itu aku menujukan buat Duta, Adam, Sakti, dan Anton. Aku dengan lugunya ingin menjalani hidup dengan gitar. Dengan kotak sejuta mimpi aku mendatangi anak-anak kalau aku punya lagu. Waktu itu kita nggak banyak mikir. Lakukan ini semua, tabrak sana-sini. Itu gambaran Sheila On 7 waktu itu.

Mungkin kalau kita terlambat empat atau lima tahun ke Jakarta nggak akan ada lirik senekat itu.  Itu hal-hal lugas sebagai anak muda, nggak mikir jauh. Aku berani ninggalin kuliah karena musik itu sesuatu yang gila karena aku bukan dari keluarga berpunya dan aku cuma berkaca sama musisi sukses saja, bukan sama musisi gagal (tertawa). Aku ingat ngomong ke anak-anak waktu habis ngasih demo pertama, “Kalau demo ini gagal kita akan nyoba lagi untuk kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya.”  Itu spirit yang cuma dipunyai saat personel Sheila On 7 umurnya 20-an.

Kalau saya amati narasi di lirik “Bila Kau Tak Disampingku” mirip dengan “Dan…” ya?

Waktu jeda album sangat pendek jadi masih ada pemanjangan ide dari album pertama. Apa yang nggak sempat aku lakuin di album pertama aku lakuin di album ini. Kalau dilihat notasinya pas reffrain nggak jauh beda dengan “Dan…”, cuma ada variasi di modulasi lagu. Kalau album pertama semua tanpa perubahan tangga nada. Kalau di album ini mulai dari lagu ini ada modulasi. Semuanya lebih ke ledakan musikalitas di chord lagu.

“Sephia” akan jadi pembahasan paling panjang. Sosok Sephia ini cuma simbolisasi saja atau memang nyata?

Ada beberapa (tertawa). Begini, kalau ditanya bagimana aku di tahun 2000 kadang-kadang aku bersyukur sekali sampai hari ini aku masih selamat, punya keluarga yang sangat aku cintai. Bisa saja di tahun itu aku mati karena kecerobohanku. Cuma Tuhan masih sayang sama aku mungkin Dia masih punya misi sama aku. Ya “Sephia” itu bentuk sembrono, menganggap hal sepele memberi nama selingkuhan. Kalau dulu anak nakal dibilang Kancil karena sering mencuri, aku ingin kasih nama selingkuhan itu Sephia supaya suatu hari orang akan menyebut selingkuhannya dengan Sephia walaupun lagu itu pesannya bahwa kisah kita tak akan abadi. Cuma ya anak muda yang sembrono, jadi punya keberanian untuk mengucap selamat tidur kekasih gelapku.

Kenapa harus sefrontal itu?

Karena aku mengeksplorasi. Kalau di album pertama ada hal-hal yang elegan seperti lupakanlah saja diriku di “Dan…”.  Di album kedua aku ingin mencoba yang lebih brengsek dan nekat (tertawa).

Banyak yang kaget karena latar belakang sebagai orang Jawa yang lugu dan juga masih muda untuk bicara tentang kekasih gelap…

Aku waktu itu kalau menulis lagu hampir dipastikan nggak bisa ngarang karena itu aku alamin. Nggak bisa seperti sutradara film yang bisa berimporivisasi dengan cerita. Saat itu aku baru selesai sekolah, masih punya waktu bersosialiasi banyak. Kalau sekarang kalau nggak kerja ya delapan puluh persen waktu aku buat keluarga.

Kapan mulai menyadari kalau Sephia akhirnya jadi icon untuk kekasih gelap?

Aku mulai sadar ketika ada temen main ke rumah tiba-tiba dia nelpon. Waktu aku tanya dia bilang, “Biasa, Sephia” Aku lalu tertawa dan membatin, “It happened.” Akhirnya Sephia selalu jadi pembahasan, entah bagus atau jelek (tertawa.)

Banyak versi tentang asal mula nama Sephia, sebetulnya nama itu dari mana? Apa benar dari hantu yang tiba-tiba menelpon waktu rekaman?

Aku ditanya itu sampai berkali-kali, sampai pada titik aku bertanya balik (tertawa). Jadi  nama Sephia itu didapat waktu sedang tur di kamar hotel ada TV namanya Sophia, cuma waktu itu kalau dikasih nama Sophia malah jadi kayak Sophia Latjuba (tertawa).

Tapi jadi misteri…

Kalau kejadian makhluk halus di studio memang selalu ada. Lali aku opo wae (aku lupa apa saja) (tertawa).

Suara bisik-bisik di awal-awal lagu itu idenya siapa?

Aku. Duta yang take.

Supaya menimbulkan kesan misterius soal sosok Sephia?

Nek kuwi nggo keren-kerenan wae (untuk keren-kerenan saja) (tertawa).

Banyak nama dalam narasi lagu yang Anda ciptakan. Rani, Sephia, Niah, Khaylila, sampai Ibu Linda. Seberapa penting perannya dalam bangunan narasi lagu?

Kadang-kadang ketika dikasih nama orang lebih merasa memiliki ketimbang pakai dia atau kamu. Kayak Bon Jovi pakai Tommy dan Gina. Itu jadi simboliasi orang-orang muda yang berjuang buat hidup. Dan aku berhasilnya dengan Sephia (tertawa).

“Sephia” lalu jadi inspirasi band-band lain untuk membuat lagu bertema hubungan gelap. Bagaimana penilaian Anda?

Tema selingkuh Sebenarnya sebelum “Sephia” mungkin ada, namun mengutarakannya lebih halus tak sefrontal selamat tidur kekasih gelapku. Aku merasa bersalah juga karena mereka bikin lagu tentang selingkuh dan hasilnya cheessy. Saat aku tanya inspirasinya dari Sheila On 7 (tertawa) .

(Note: “Sephia” sebetulnya mempunyai intro yang panjang. Namun karena pertimbangan durasi, intro tadi tidak terpakai dan akhirnya menjadi lagu “Waktu Yang Tepat untuk Berpisah” yang ada di album 07 Des)

Kalau “Just For My Mom” bagaimana pembagian tugasnya dengan Adam?

Kalau kata-kata yang susah itu dari Adam, yang simpel dari aku. Aku nggak punya kapasitas buat bikin lagu dalam bahasa Inggris (tertawa).

Sosok mama sepertinya cukup berpengaruh saat membuat lagu ini? Saya menemukan  lagi sosok mama di lirik mama buat aku terjaga di “Pagi yang Menakjubkan”

Di umur itu aku masih hidup sama mamaku, aku nggak punya obyek lain. Lebih gampang menuliskan tentang dia dibanding orang lain.

Hancurkanlah tempat  tidurku  di “Pagi Yang Menakjubkan” ini dari mana idenya?

Itu diambil dari lagunya Slank yang judulnya “Mau (Beli) Tidur”. Aku bangun lagi dan bakar rokok, kutendang-tendang ranjangku yang bobrok. Dari riff gitar awalnya.

“Sebuah Kisah Klasik” apa juga seperti “Sahabat Sejati” yang bercerita relasi Anda dengan Duta, Adam, Sakti, dan Anton?

Itu dari kehidupan sekolah. Kan biasanya punya geng. Aku selalu menertawakan teman-teman setiap kita mencoba melakukan hal-hal bodoh seperti coba-coba minum. Wis pokoke dino iki seneng-seneng wae, sesuk embuh (pokoknya hari ini senang-senang, besok dipikir nanti saja). Karena hari ini yang membuat kita kangen di masa depan.

Ide memasukkan violin di reffrain dari mana karena membuat dinamika lagu jadi berbeda?

Sebetulnya kita dikasih pemain violin. Sebetulnya part violin  di reffrain itu buat part gitar, tapi kita coba ganti violin. Hasilnya mengejutkan.

“Sebuah Kisah Klasik” jadi semacam cetak biru untuk penulisan lirik-lirik Sheila On 7. Selalu ada optimisme dibalik kesedihan atau perpisahan. Punya misi khusus?

Kalau lirik aku banyak terpengaruh dari Bon Jovi dan The Cure, tapi cinta pertamaku soal lirik itu Slank. Di Bon Jovi banyak lirik-lirik soal optimisme seperti “Wild In The Streets” atau “Blood On Blood” yang menginspirasi ke lagu seperti “Sahabat Sejati”. Aku jadi seperti bikin versiku sendiri walaupun gagal dan nggak mirip (tertawa). Tapi kalau lagu ini berhasil bikin orang semangat artinya sama kayak Bon Jovi yang menginspirasi aku.

Saya sampai saat ini masih kagum dengan pemilihan frasa kisah klasik untuk masa depan. Bisa diceritakan bagaimana mendapatkannya?

Sampai sekarang aku kalau bikin lagu awalnya dari rasa. Dari rasa itu lalu dicari kata-kata yang tepat. Waktu bikin lagu ini aku rasanya ingin bikin lagu tentang perpisahan. Membicarakan hal yang indah hari ini buat besok. Akhirnya jadilah kisah klasik untuk masa depan. Waktu itu banyak pilihan, tapi kisah klasik untuk masa depan yang menurutku paling oke.

Mengapa harus Jakarta yang jadi pilihan untuk “Tunggu Aku di Jakarta”, bukan Bandung atau Surabaya misalnya?

Itu sebetulnya materi album pertama. Aku waktu itu punya pacar tinggal di Jakarta, sesimpel itu. Dan memang kalau kamu punya mimpi tapi belum menaklukkan Jakarta sepertinya belum sah. Apalagi di bidang musik. Label disana semua, studio rekaman disana semua. Jadi nggak ada pilihan kota lain. Aku waktu itu belum tahu scene musik di kota lain seperti Bandung apakah saat itu diakui seperti Jakarta. Jadi mindset-ku  saat itu Slank, Dewa 19 ya di Jakarta.

Kenapa tak ada lirik di sampul albumnya?

Itu aku nggak tau (tertawa).

“Tunjuk Satu Bintang” terinspirasi dari mana?

Itu dari lagunya The Cure. Aku lupa judulnya.

(Note: “Tunggu Aku Di Jakarta” dan “Tunjuk Sau Bintang” sebetulnya sudah direkam untuk materi album pertama. Namun karena Duta merasa tidak percaya diri dengan suaranya, ia meminta Stephan Santoso yang menjadi penata rekam untuk menyimpan saja lagu itu. Versi yang berada di album “Kisah Klasik…” adalah versi asli saat rekaman album pertama, tanpa proses re-take)

Bintang sepertinya jadi kata favorit dalam penulisan lirik karena saya juga menemukan di “Temani Aku” ?

Itu hal yang simpel. Dari anak kecil sampai orang dewasa ketika menyebut bintang konotasi katanya adalah hal-hal yang baik. 

Selain kata hebat dan tangguh ya?

Itu juga. Aku kepengen ketika bikin lagu orang punya semacam booster dari lagu itu.

Mengapa intro “Karena Aku Setia” menampilkan suasana seperti peperangan?

Ketika aku bikin intro-nya aku kebayang ada hal heroik. Saat itu yang terpikir adalah ada suara helikopter, suara perang. Istilahnya bela negara karena kamu setia sama negara. Pokoknya heroik (tertawa).

“Selamat Tidur” memang diset sebagai penutup?

Iya. Kalau aku dengar album Mellon Collie and the Infinite Sadness-nya Smashing Pumpkins kan track akhirnya lagu akustik.

Siapa Reka Wahab yang jadi backing vocal di lagu tersebut?

Anaknya Dimas Wahab, bapaknya anak-anak Bragi, yang paling kecil. Dia suka main-main ke studio sambil bawa camilan impor. Nah pas dia take camilannya dimakan sama anak-anak (tertawa).

“Bertahan Disana” yang tak dimasukkan album ini tapi muncul di album The Very Best of Sheila On 7: Jalan Terus seperti memperlihatkan Anda menikmati aktivitas tur panjang dengan band?

Lirik itu memang dari situ. Nggak mungkin aku bisa bikin lirik itu tanpa aku ngalamin itu. Liriknya sebetulnya lebih pas ke album ini.

Bagaimana pola penentuan hits single? Ada negosiasi antara band dengan label?

Kalau di era itu nggak ada nego pokoknya kita nurut aja. Semua single yang piih Pak Jan.

Penggarapan video klip juga mengikuti label?

Kita ikut saja sama konseptornya dan waktu diterangin kita cuma manggut-manggut, oke…oke… (tertawa).

Ada notes yang menggambarkan relasi personal antara anda dan mendiang ayah. Apa yang ingin disampaikan?

Ini untuk pertama kalinya aku merasa ada orang yang dekat di lingkungan kamu dan dia berguna buat hidup kamu. Buatku itu fase pertamaku jadi seorang lelaki. Ternyata suatu hari kita harus fight sendiri. Dan aku baru bisa lega setelah menulis “Lapang Dada” karena di era ini aku serba meraba semua. Ada perasaan ganjil tapi aku belum tahu menulis seperti apa. Banyak yang belum terjawab dan itu semua baru terjawab setelah aku punya anak.

***

Adam Muhammad Subarkah kembali menulis lagu di album ini setelah di album pertama menulis “Terlintas Dua Kata”. Ada dua lagu yang ditulis bassist bertubuh gempal ini. Pertama adalah “Lihat, Dengar, Rasakan” serta “Just For My Mom” yang digarap bersama Eross.

“Just For My Mom” kenapa liriknya berbahasa Inggris?

Aku ingatnya bikin di rumah Sakti. Eross ada ide untuk membuat lagu dengan referensi dari Bon Jovi, Oasis, Extreme, Skid Row, Metallica, Red Hot Chilli Pepper, semuanya lah. Apalagi aku sempat tinggal di luar negeri. Kelihatannya lirik bahasa Inggris keren walau setelah dibaca lagi agak kacau (tertawa). Aku berpikir kata mom lebih keren dari mama atau ibu. Dicampur dengan chord lalu diaransemen di studio. Intinya menggambarkan peran ibu. Kita waktu itu masih bocah, anak mama. Lagi susah ibu selalu ada buat kita.

Di “Lihat, Dengar, Rasakan” liriknya menyiratkan permohonan pada Tuhan untuk mudahkan hidupnya, hiasi dengan belai-Mu. Ada pengalaman spiritual khusus yang melatarbelakangi lagu ini karena di album sebelumnya Anda menulis soal putus cinta di “Terlintas Dua Kata” ?

Aku punya mbak yang biasa bantu di rumah. Dia punya anak dengan kebutuhan khusus. Anaknya senang musik, sering aku putarkan VCD musik, dan senang main gitar juga. Suatu saat aku pas berhenti di perempatan lampu merah ada anak yang  ngamen, pas aku buka kaca mobil ternyata dia. Dia malu terus langsung pergi dan nggak pernah datang ke rumah.

Berarti dia di dia telah berdiri coba berlari merujuk ke anak itu?

Iya, intinya aku cuma ingin mengajak orang lain ingat orang yang kekurangan.

Relasi dengan sosok anak ditampilkan lagi di “My Lovely” yang ada di album Musim Yang Baik ya?

Kalau “My Lovely”  itu personal banget karena itu untuk anak pertamaku. Aku kagum dengan anakku yang harus menjalani operasi besar. Kita sebagai orang tua khawatir dengan kondisinya, tapi dia berhasil melewati dengan kuat. Dia melihat adik-adiknya dengan main bebas. Karena kakinya masih pemulihan, dia lalu menggambar. Makanya ada kata-kata  tersenyum jari menari.

Tapi bertemu problematika masa muda lagi ya di “Bapak-Bapak” yang ada di album 07 Des?

Ah itu banyak kan yang mengalami seperti itu (tertawa). Berhadapan dengan orang tua pacar kan ada yang mulus ada yang enggak. Kalau saya alhamdulillah nggak pernah ada masalah apa-apa.

Henky Solaiman dan Daftar Menu Itu

Aktor senior Henky Solaiman meninggal dunia pada Jumat (15/5) karena penyakit kanker usus. Sebagai aktor senior, Henky Solaiman justru lebih banyak dikenal dengan penampilannya sebagai aktor pembantu. Salah satunya di film-film Warkop DKI. Ada beberapa judul, saya lupa. Tapi yang saya ingat adalah penampilannya di “Saya Suka Kamu Punya”.

Disutradarai Tommy Burnama, film rilisan tahun 1987 ini berkisah tentang Dono, Kasino, dan Indro yang berprofesi sebagai pemain wayang orang di sanggar milik Dudung Hayo. Ternyata tanah tempat gedung pementasan sedang diincar oleh Gozali (Didik Mangkuprojo). Dono, Kasino, dan Indro mesti berhadapan dengan centeng-centeng Gozali (Doyok, Simon P.S), tapi Kasino malah jatuh cinta dengan Yayuk, sekretaris Gozali.

Banyak scene favorit saya di film yang naskahnya ditulis Dono dan Baron Achmadi ini, termasuk saat Dono mentraktir kawan-kawannya makan di restoran. Pelayan restoran, diperankan dengan komikal oleh Henky Solaiman, menawarkan dua menu andalan: La Grenggo Plaestina Burnaskopen dan La Titite Honansa Soreang Gagarumpi.

La Grenggo Palestina Burnaskopen adalah campuran sayur (kangkungnya dari Siberia, jamurnya dari pegunungan Himalaya) dan daging (bebek dari Shanghai dicampur daging kura-kura dari kepulauan Hawaii). Semua dimasak jadi satu dengan api arang dari pulau Fiji. Ditambah garam lokal sedikit dari pulau Madura.

Sementara menu keduanya La Titite Honansa Soreang Gagarumpi tidak kalah seram. Berupa daging gajah Afrika yang hampir punah, dicampur daging rusa belahan Kutub Utara, ditambah daging panda dari pedalaman Cina. Semua disiram dengan anggur dari Prancis sebagai bumbu peninggalan jaman kaisar Napoleon yang terkenal itu, plus sari madu bunga tulip dari Holland dan tiga tetes madu lokal dari pulau Sumba.

“Ini makanan apa flora dan fauna?,” kata Dono.

Tapi mereka malah tidak jadi makan karena Dono kaget melihat harga makanannya dan beralasan teringat tetangganya ada yang mati setelah makan di restoran mewah. Ya kan, Ndro? Bah, mana aku tahu. Pandai-pandai kau saja, rumah kau pun di mana aku tak tahu apalagi tetangga kau. Mana ada urus aku…..

Aksan Disini Untukmu

Diskusi tentang album terbaik dalam diskografi Dewa 19 mengerucut pada tiga album: Terbaik Terbaik (1995), Pandawa Lima (1997), dan Bintang Lima (2000). Masing-masing tentu punya pilihannya sendiri, tapi bagi saya Pandawa Lima adalah puncak pencapaian artistik.

Terbaik Terbaik adalah album artsy. Transisi dari formula dasar di dua album pertama ke bentuk-bentuk eksperimental. Bintang Lima selain sukses dari segi penjualan juga berhasil meyakinkan pendengar bahwa mengganti vokalis yang nyaris jadi simbol itu bukan hil yang mustahal.

Pandawa Lima adalah pengecualian. Secara penjualan, meski disebut menggembirakan namun angkanya masih di bawah Bintang Lima. Dari nilai artistik, tipikal lagunya banyak yang lempeng dan terdengar monoton. Bukan lagu-lagu dengan tonjokan keras seperti “Cukup Siti Nurbaya” atau serumit “Restoe Boemi”. Tapi Pandawa Lima punya aura yang berbeda dengan dua album tadi. Aura penuh teka-teki, dingin, kelam, liyan, misterius, dan menciptakan kadar mistisnya sendiri.

Meminjam istilah seorang anggota judi bola, ada seorang pemain pembeda. Bukan Dhani dan Andra yang dikultuskan. Lain pula Erwin yang pengaruh signifikannya pernah saya bahas. Orang itu adalah Aksan Sjuman.

Butuh dua drummer bagi  Dewa 19 menemukan kepingan huruf W setelah hengkangnya Wawan Juniarso.  Rere Reza (Grassrock, ADA Band, Blackout) dan Ronal Fristianto (GIGI, dr.pm, Evo) bergantian mengisi part drum di Format Masa Depan. Rere kemudian menjadi pemain tunggal di Terbaik Terbaik. Sampai datanglah Aksan ke Dewa 19 lewat rekomendasi Ronal yang ingin lebih fokus bersama GIGI.

Aksan datang dengan curriculum vitae nan mentereng: sarjana musik dari Folkwang Hochschule, Essen, Jerman; pernah membantu penggarapan album V milik KLa Project bersama Rere (KLa dan Dewa 19 ternyata punya irisan sejarah yang menarik, akan saya bahas lain waktu. Terima kasih Mas Budi untuk trivia-trivia pengisi buka puasanya); punya kemampuan kustomisasi instrumen musik; dan berwajah ganteng sebagai bintang film Kuldesak kemudian iklan Kratingdaeng. Sebuah paket komplit.

Putra sineas terkemuka Sjumandjaja dan maestro balet Farida Oetojo ini kemudian diberikan nama panggung Wong Aksan untuk melengkapi W yang selama dua album dibiarkan tak bertuan. Cerita lengkapnya bisa disimak dalam wawancara Shindu Alpito dengan Aksan Sjuman .

Masuknya Aksan menandai babak baru proses kreatif. Album-album Dewa 19 sebelumnya adalah adu pengaruh fusion dengan rock  yang kemudian mulai berbelok ke jalur alternatif di Terbaik Terbaik. Di Pandawa Lima, semua referensi personal mendapat tempat secara layak dan proporsional. Termasuk jazz yang dibawa oleh Aksan yang hadir lewat ketukan-ketukannya yang tak tertebak.

Andil Aksan bukan hanya sekadar di gebukan drum yang perkakasnya ia rancang sendiri. Ia berandil pada modulasi di bangunan aransemen “Kirana” sehingga lagu semonoton itu tiba-tiba jadi punya dinamika yang bekerja dengan caranya yang begitu unik.

Fun fact, bagian melodi gitar Andra baru dipikirkan masuk dalam proses mixing tahap berikut di studio Doel Sumbang di Bandung setelah dibawa ke Jerman dan Jakarta dan lagu itu mau tidak mau di­-take ulang. Andra perlu tiga jam hanya untuk mencari setelan sound yang pas untuk gerungan “nggggggeeeeeengg…” yang ada di intro dan beberapa bagian lagu buatan Erwin dan Dhani ini. Mungkinkah Dhani sengaja memeram lagu ini sampai tiga tahun hanya untuk menemukan komposisi tim serta momentum perilisan yang pas?

Lanjut ke track berikut. Aksan berkontribusi pada chord di bagian interlude “Aku Disini Untukmu” selain cara masuknya yang begitu ganjil pada lagu yang video klipnya dibintangi supermodel Tamara Bleszynski. Seperti yang dilakukannya pada “Cindi”. Bedanya, di “Cindi” Aksan masuk dengan cara yang lebih frontal.

“Sebelum Kau Terlelap” menjadi monumen peninggalan Aksan mengingat suratan tangan Aksan di Dewa 19 hanya Tuhan dan Dhani yang paham. Lagu ini ibarat relationship goals untuk Erwin yang mengepalai departemen rhythm section di Dewa 19. Hal ini mengingat drummer-drummer Dewa 19 sebelum dan sesudah Aksan lebih condong membawa semangat powerful dari rock alih-alih menekankan pada harmoni dan improvisasi dari jazz dan fusion. Simak detail-detail isian Aksan yang begitu lihai mengisi celah-celah kosong.

Pada nomor penutup “Kamulah Satu-Satunya”, Aksan sebetulnya mencoba legowo dengan kuatnya pengaruh Gin Blossoms yang dibawa anak-anak Dewa terutama Erwin. Namun dia mencoba memberi dinamika lain lewat pola-pola permainan dari session drummer terkemuka asal Amerika Serikat, Jim Keltner.

Lewat sindikasi pertemanan Jerman-nya, Aksan mengenalkan Dewa 19 dengan Wolf D. Arndt yang kemudian bertanggungjawab melakukan mixing bersama Dhani dan Aksan di studionya di Jerman. Variasi pada intro “Aku Disini Untukmu” berasal dari saran Wolf ke Andra. Jasa Wolf kemudian dipakai juga oleh KLa Project untuk melakukan mixing pada album Klasik (2000) yang menjadi titik balik perjalanan Katon, Lilo, dan Adi. Dalam titiannya ke Jerman itu, kawan Aksan yang lain yaitu Jorg Lenhardt mengisi seluruh bagian gitar dengan synthesizer di “Suara Alam”. Sementara temannya yang bernama Konich mengisi bagian puisi abstrak berbahasa Jerman di pertengahan lagu “Bunga”.

Dalam waktu singkat, Aksan memberikan kontribusi yang begitu signfikan yang membuat Pandawa Lima mempunyai nilai otentik. Tapi sesingkat itu pula masa tugasnya. Karena pukulannya yang dianggap terlalu ngejazz, Aksan dipecat oleh Dhani. Keluarnya Aksan ini menandai eksodus besar-besaran di tubuh Dewa 19 setelah Ari Lasso dan Erwin mundur untuk penyembuhan dari ketergantungan terhadap narkotika. Namun dalam wawancara panjang terakhirnya bersama Shindu tadi Aksan menjawab diplomatis bahwa ada dinamika lain yang berubah di tubuh band jika dibandingkan dengan fase-fase awal masuknya ke Dewa 19.

Namun apapun itu, Aksan telah membuat Pandawa Lima punya pencapaian tersendiri yang tidak bisa dicapai oleh seluruh album dalam rak katalog Dewa 19 sampai hari ini.

[PLAYLIST] Jogja Berhati Ambyar

Masa SMA sampai kuliah saya dihabiskan di Muntilan dan Jogja, dari tahun 2002 sampai 2010. Dua kota ini menjadi persinggungan saya untuk berbagai hal, termasuk musik.

Tahun 2002 internet belum semasif sekarang. Apalagi di kota kecamatan seperti Muntilan. Hanya ada dua warnet dengan keceptan menyedihkan untuk mengakses internet. Jika ingin berselancar dan main game Counter Strike, biasanya saya ke Magelang atau ke Jogja sekalian. Warnet dengan kualitas cukup baik baru ada di Muntilan sekitar tahun 2005 ketika saya sudah kuliah di Jogja.

Di masa-masa pra-internet itu, referensi utama tentu dari media cetak dan elektronik (televisi dan radio). Beruntung saya tinggal di rumah simbah yang ada di kawasan pusat kota. Selain pakde berlangganan koran pagi, juga ada dua kios majalah yang cukup lengkap. Perpustakaan Daerah juga bisa dijangkau hanya dengan beberapa langkah.

Bagaimana dengan akses musik?

Praktis musik yang saya konsumsi adalah siaran dari radio yang bisa dijangkau. Gelombang siaran radio dari Jogja bisa terjangkau jadi update band-band baru lumayan cepat. Saat itu Jogja sedang mengalami booming band-band baru setelah gegap gempita kesuksesan Endank Soekamti yang baru saja teken kontrak dengan Warner dan Seventeen direkrut Universal. Mengikuti jejak Sheila On 7 dan Jikustik yang sudah lebih dulu mapan. Maka siaran radio waktu itu semarak dengan band-band Kota Pelajar seperti Shaggydog, The Rain, Newdays, Shakey, Bre, Esnanas, Sophie, Stereovila, sampai Gelasplastik.

Di kurun waktu yang sama, di Jakarta dan Bandung sedang terjadi gelombang indie revival jilid dua dengan kemunculan Mocca, Seringai, The Upstairs, dan The Brandals. Klipnya bisa dilihat di MTV. Artikelnya bisa dibaca di majalah Hai di Perpustakaan Daerah (yang biasanya sudah sobek-sobek). Tapi kasetnya tidak tersedia di toko kaset. Mungkin jalur distribusi independen saat itu belum bisa menembus ke second city. Penjualnya saja bingung waktu saya tanya apakah sudah ada album Mocca yang My Diary.

Ketika pindah ke Jogja, warnet mudah ditemui dengan kecepatan juga kenyamanan ruangan yang lebih layak. Ditambah dengan pergaulan di kampus, konsumsi musik saya bisa agak lebih beragam. Bisa dibilang persinggungan saya dengan band-band di luar arus utama banyak terjadi di rentang waktu ini.

Saya mencoba mengingat-ingat lagi beberapa lagu yang menemani masa-masa menunggu balasan SMS dari adik kelas yang itu, puyeng sendiri dengan contekan untuk ujian Fisika, dan memutuskan malam ini mau makan bakmi Kidul Pasar Muntilan atau Tugu Besi sambal curhat soal penolakan untuk yang kesekian kalinya. Andai saja Lebaran tahun ini bisa pulang lagi……

Ke Mertua Aku ‘Kan Kembali

Lika-liku numpang di rumah mertua, pindah ke rumah sendiri, dan harus kembali lagi

Ketika menikah, salah satu bahasan mengemuka selain perihal keputusan untuk punya anak adalah bahasan tentang rumah. Saya dan istri sebelum kami serius ke KUA sudah sepakat : bagaimanapun caranya kami harus hidup mandiri. Entah itu di rumah sendiri atau rumah kontrakan. Setelah berbagai pertimbangan kami putuskan langsung nyicil rumah.

Pilihan mencicil rumah membawa konsekuensi bagi kami untuk tinggal menumpang di rumah orang tua sampai tabungan cukup untuk bayar uang muka. Mungkin Tuhan mendengar doa-doa kami. Hanya selang beberapa hari setelah menikah, saya mendapat rapelan (halo abdi negara…..) yang cukup signifikan untuk modal uang muka. Setelah serangkaian drama pencarian lokasi dan pengajuan kredit, akhirnya Juli 2013 saya resmi mengangsur rumah yang kalau lancar (dan semoga bisa lebih cepat) akan lunas pada tahun 2028. Drama berikutnya dimulai.

Rumah yang saya beli bukan rumah ready stock. Harus dibangun dulu, itu pun tukangnya ngaco sehingga serah terima kunci jadi molor. Sesuai saran dari para tetua, setelah selesai garansi dari developer sebaiknya cari tukang kepercayaan untuk membenahi bagian-bagian yang masih perlu perbaikan.

Beres perbaikan, seharusnya bisa langsung pindahan. Seharusnya kalau uang kami berlimpah buat beli perabotan selengkap-lengkapnya. Persoalannya, tabungan sudah dedel duel buat bayar uang muka plus renovasi. Juga bayar pinjaman lunak ke Bank Perkreditan Kasih Ibu.

Ego saya sebagai lelaki berontak. Bayangan punya rumah sendiri dan mengatur keluarga dengan penuh otoritas (termasuk kebebasan untuk berhubungan suami istri tanpa rikuh) masih harus menunggu waktu. Saya berharap para aktivis kesetaran gender tidak protes dengan keputusan yang saya lakukan selanjutnya.

Suatu malam di bulan Agustus  atau September 2014 (tanggalnya lupa) saya memutuskan pindah ke rumah sendiri. Sendirian tanpa istri setelah pertengkaran cukup hebat gara-gara perbedaan prinsip: saya ingin segera hidup mandiri, istri saya ingin memastikan rumah siap dihuni dengan perabotan yang layak. Atas nama harga diri (asli, kalau dingat-ingat kami berdua cuma tertawa), saya pindah hanya dengan membawa satu tas dan kasur tipis untuk alas tidur. Malam pertama di rumah sendiri, dilewati dengan tidur sendiri. Tapi saya bangga dengan pencapaian ini.

Besoknya kami sudah berdamai dan sepakat untuk pindah. Saat pindah kami hanya membawa satu koper dan satu tas jinjing, yang lalu beranak pinak jadi perabotan yang harus diangkut dengan satu truk engkel dan satu mobil pick-up saat pindahan akhir bulan Februari lalu.

Setiap batu bata, genteng, balok kayu, juga paku yang membangun rumah ini punya cerita sentimentil buat kami.

Rumah kami mungil. Ukurannya bangunannya cuma 46 meter persegi dan tanah 96 meter persegi. Kata orang tua saya yang rumahnya di desanya dua atau tiga kali lipat lebih besar, rumah kami ini adalah rumah keakraban wong bolak-balik harus petukan lagi saking kecilnya ruang gerak. Tapi yang saya suka adalah masih ada sepetak halaman di depan yang saya tanami pohon jambu bol. Pohon jambunya rajin berbuah. Kalau berbuah cukup buat rujakan satu blok sampai perut begah.Di halaman ini ari-ari anak saya dikuburkan beserta potongan tali pusarnya saat puput.  

Saat ada tabungan lagi saya kepikiran untuk merombak sebagian rumah. Waktu itu dapur masih di dalam rumah. Aktivitas masak memasak juga praktis hanya malam hari dan akhir pekan karena kami sama-sama bekerja. Tapi setelah punya anak, istri saya memutuskan untuk total mengurus anak dan rumah tangga sehingga aktivitas memasak jadi lebih sering. Anak juga mulai fase eksplorasi. Riskan juga.

Akhirnya dapur saya pindah ke belakang. Tetangga saya yang baik hati membantu membuatkan desain dan denahnya, menghitung kebutuhan material dan biayanya, sampai merekomendasikan tukang. Saya cukup membayarnya dengan nasi goreng kambing buatan saya sendiri hehehe. Dari dapur baru itu saya jadi senang memasak termasuk iseng-iseng jualan tongseng.

Sampai akhirnya ibu mertua saya masuk rumah sakit dan meninggal dunia pada Agustus 2018.

Istri saya adalah anak tunggal. Bapak mertua saya hidup sendiri. Sebagai menantu saya tidak sampai hati kami tinggal berdua, bercanda seharian di rumah, sementara bapak mertua saya sendirian di rumah. Menatap kosong rumah yang sudah sepi setelah kami pindah, jadi semakin sepi setelah pasangan hidupnya pergi. Keputusan untuk kembali ke rumah mertua langsung kami ambil. Tanpa perdebatan.

Rumah kami putuskan untuk dikontrakkan. Selain supaya terawat juga bisa jadi sumber pendapatan. Kan listrik, air, dan iuran lingkungan juga tetap harus dibayarkan. Setelah barang-barang selesai dipindah, rumah kami perbaiki lagi agar punya nilai tawar yang lebih tinggi.

Tentu masih ada rasa masygul saat meninggalkan rumah. Bagaimanapun ini adalah rumah jerih payah kami. Setiap batu bata, genteng, balok kayu, juga paku yang membangun rumah ini punya cerita sentimentil buat kami. Saya ingat ketika simbah dan pakde bude datang dari Muntilan, Ibu memboyong semua keluarganya itu ke rumah sampai rumah kami jadi penuh sesak. “Biar mereka liat kalo kamu walau dulu waktu SMA dan kuliah numpang di saudara, sekarang bisa hidup mandiri,” kata Ibu.

Tepat setelah saya selesai menandatangani kesepakatan dengan pengontrak yang akan menyewa sampai setahun ke depan, saya memandang kamar kosong yang sudah selesai dicat dan diganti keramiknya. “Lihat ini jadi ingat waktu pertama kali pindah dari rumah mertua. Sekarang kita akan balik lagi ke rumah mertua,” batin saya. Juga dapur baru yang masih belum genap setahun . Tapi ya hidup kan perkara pindah dari satu episode ke episode lain.

Jika sebelumnya kami sering bertengkar gara-gara masalah-masalah kecil, kali ini kami jadi lebih legowo. Bukan semata-mata faktor kondisi yang membuat kami harus nrimo, tapi fase menumpang ini sudah pernah kami jalani sebelumnya. Paling tidak ada pengalaman yang membuat kami jadi lebih dewasa. Terlebih sudah ada si kecil yang sekarang harus jadi prioritas orientasi hidup kami. Jika saat menikah kami masih menyimpan ego masing-masing, bisa dibilang sekarang ego harus dikalahkan demi tujuan yang lebih besar.

Pada Sepiring Tongseng

Dagangan tongsengku. Masak kalau lagi mood saja.

Kambing sebetulnya bukan pilihan populer dalam hidangan berbasis daging-dagingan. Bau prengus dan ketakutan kolesterol membuat orang seringkali minder dan takut duluan untuk menyantap hewan satu ini.

Tapi bukankah hidup itu perkara keberanian mengambil risiko? Untuk pemegang prinsip gaya hidup sehat, saya tidak memaksa untuk membaca habis tulisan ini. Untuk yang suka nyerenpet bahaya, silakan kalau mau lanjut.

Olahan kambing yang populer di jajanan rakyat Indonesia umumnya hadir dalam bentuk sate, sop, gulai, nasi goreng, atau tongseng. Menu terakhir ini bisa dibilang sangat segmented. Tongseng hanya hadir di warung olahan kambing yang penjualnya berasal dari wilayah Jawa Tengah bagian tengah terutama di wilayah bekas Karesidenan Solo serta Kedu (Magelang), dan Yogyakarta. Di luar teritorial itu tongseng tidak familiar.

Bakul-bakul dari wilayah tadi biasanya menjual sate, gulai (dilafalkan gule), dan tongseng sebagai satu kesatuan. Beberapa menambahkan versi turunannya seperti tengkleng, kicik, sate goreng, atau nasi goreng. Tapi menu-menu tadi dibahas lain waktu saja, masih ada 28 hari ke depan. Sayang dong kalau dibahas semuanya.

Tongseng sebetulnya adalah fusi dari sate dan gule. Bisa disebut sate yang dimasak dalam kuah gule.Bisa juga gule yang ditumis dengan potongan daging dari sate. Terserah memaknainya bagaimana. Yang jelas esensi dari tongseng adalah di kuah gule-nya. Dan ini bagian yang paling menyita waktu.

Mempersiapkan kuah gule artinya menyediakan waktu untuk mengolah tulang kambing sebagai dasar kaldu. Favorit saya adalah tulang bagian paha yang masih banyak sumsumnya. Saya biasa beli 20 ribu rupiah di tukang daging kambing langganan di pasar Empang, Bogor. Kalau mau lebih berlemak, tambahkan gajih saat menumis bumbu basah.

Selanjutnya, mengolah bumbu. Gule yang dipakai untuk tongseng adalah gulai gagrak Minang yang lebih dekat ke Arab bukan gulai ala Aceh yang condong ke kari India. Tapi tentunya disesuaikan dengan lidah Jawa yang perlu rasa manis di mana pun dan tidak terbiasa dengan rempah yang terlalu menonjok. Bumbu yang saya pakai biasanya bawang merah, bawang putih, cabe merah, kunyit, jahe, dan kencur yang dhialuskan sebagai bumbu basah. Untuk bumbu keringnya lada, pala, jintan, adas, cabe puyang, kayu manis, dan pekak. Kalau repot menghaluskan bumbu kering, beli saja five spices powder alias bubuk lima rempah alias ngo hiong di supermarket. Ada merk Koepoe-Koepeoe (liarkoe terbanglah bersamaku…) atau Jay’s yang agak mahalan dikit. Kalau mau lebih creamy, tambahkan kemiri yang sudah dihaluskan. Buat penyempurna, tambahkan sereh.

Terakhir, santan. Ada santan instan tapi berdasar trial and error lebih baik pakai santan asli saja. Pedagang-pedagang kelapa parut di pasar biasanya  menyediakan dalam kemasan plastik seliteran. Tinggal tuang. Lebih kental dan lebih legit.

Kemudian masak pelan-pelan di api kecil. Kalau mau lebih merasuki, masak pakai arang. No debate.

Kuah gule siap maka 70 persen tongseng sudah selesai. Selebihnya tinggal memasak potongan daging.

Buat saya tongseng yang benar adalah tongseng yang brutal. Artinya potongan dagingnya tidak harus se-grandeur sate yang kadang harus bebas lemak. Dalam tongseng, semua bagian kambing yang bisa dimakan itu artinya bisa diolah. Makanya saya memberi kredit khusus untuk warung-warung tongseng yang secara by default menyediakan daging, koyoran, sampai jeroahan seperti Tongseng Pak Jaman di Wonogiri, Tongseng Pak Kurdi di Mendut, Magelang, atau Tongseng Mirah “Yono” di Muntilan. Bahkan pelir kambing jantan pun disediakan untuk pembeli yang mau pesan. Bagian ini juga akan saya ulas terpisah saja, sayang dong kalau dikeluarkan sekarang.

Tongseng Mirah “Yono” Muntilan. Dokumentasi Pribadi

Setelah itu tinggal merajang bawang merah, bawang putih, dan cabai merah tergantung seberapa kuat tahan dengan kepedasan. Sekali lagi, tongseng adalah hidangan nyerempet bahaya. Makin pedas, makin sempurna. Tumis semuanya perlahan lalu guyur pelan-pelan dengan kuah gule. Tambahkan kecap manis.  Jangan lupa dengan bubuhan sayuran seperti kol dan tomat muda. Sayuran ini untuk menetralkan segala aktivitas-aktivitas ekstrim tadi.

Ngomong-ngomong istilah tongseng itu muncul dari mana?

Beberapa Warisan Erwin Prasetya untuk Dewa 19

Dewa 19 formasi album Pandawa Lima. Sumber foto: Dokumentasi Majalah Hai

Dewa 19 selalu dianggap sebagai manifesto dari dua sosok: Dhani dan Andra. Anggapan ini boleh jadi karena selain pengaruhnya yang dominan, praktis tinggal dua orang inilah personel yang masih berjalan beriringan. Jika Andra dianggap sebagai penerjemah kemauan-kemauan si Master Mister, maka ada sosok Erwin Prasetya sebagai penyeimbang dari ego-ego besar Dhani.

Album Terbaik Terbaik dan Pandawa Lima yang berurutan perilisannya adalah pencapaian artistik dari Dewa 19. Dan Erwin memberi pengaruh yang signifikan. Di Terbaik Terbaik, album yang menurut Ari Lasso dibuat dalam keadaan hampir semua personil termasuk session player-nya teler, Erwin memberikan pernyataan personal yang kuat di “Cukup Siti Nurbaya”. Erwin membangun sebuah pondasi untuk menopang kegilaan aransemen rajutan Dhani. Permainan bass-nya yang melodius meliuk-liuk dengan mulus dan elegan. Bagian interlude adalah bagaimana Erwin menjadi sosok hangat yang menaungi keliaran permainan Andra.  Sama seperti yang dilakukan dalam “Restoe Boemi”, Erwin menjadi sosok kawan santun yang tahu diri dan memberi alas nan nyaman bagi Dhani.

Pandawa Lima menjadi puncak sumbangsih Erwin. Album rilisan tahun 1997 ini dibuka dan ditutup dengan hits single yang kesemuanya berhutang besar pada kontribusi Erwin: “Kirana” dan ‘Kamulah Satu-Satunya”.  Keduanya diaransemen oleh Erwin dengan lirik ditulis Dhan

Kehadiran “Kirana” adalah sebuah anomali saat muncul pertama kali di tahun 1997. Bagaimana lagu gloomy, dingin, dan ganjil itu justru kencang menguasai airplay program musik di televisi dan chart radio. Sedangkan “Kamulah Satu-Satunya” seperti memberi sasmita akan perubahan aransemen Dewa 19 di album berikutnya yang lebih ngerock. Pengaruh Gin Blossoms terlihat cukup dominan.

Erwin juga punya andil besar dalam “Sebelum Kau Terlelap”. Erwin seperti menemukan jodoh yang tepat sebagai penjaga tempo dalam gebukan jazzy nan kental dari Aksan .

Tapi jalan pemikiran Ahmad Dhani siapa yang tahu?

Formasi ini bukan jaminan untuk dipertahankan. Ari dan Erwin keluar karena narkotika. Sementara Aksan dipecat karena perkara terlalu ngejazz. Meski Erwin akhirnya kembali di Bintang Lima dan Cintailah Cinta, situasi sudah berubah. Dhani terlalu kuat dan Erwin terpental keluar dengan cara yang ironis: gara-gara sinetron.

* Tulisan ini adalah versi singkat obituari Erwin Prasetya yang meninggal dunia hari Sabtu (2/5), untuk Pop Hari Ini.

Menjelang Lebaran

Harian Kompas pernah menerbitkan Kurma, Kumpulan Cerita Pendek Puasa-Lebaran yang dimuat di kolom cerpen Kompas Minggu. Antologi cerpen ini adalah beragam pemaknaan konsep puasa-lebaran juga ritus-ritus yang mengelilinginya.

Cerpen favorit saya adalah Menjelang Lebaran dari Umar Kayam. Sebagai gambaran, Para Priyayi ada di rak buku samping tempat tidur kalau-kalau ingin membaca lagi ceritanya Lantip. Kelihaian Mister Rigen juga masih membuat saya mesam-mesem. Pengecualiannya di Seribu Kunang-Kunang di Manhattan yang masih belum bisa saya cerna dengan baik.

Menjelang Lebaran adalah kisah keluarga Kamil. Kamil adalah potret perantau yang mengadu nasib ke Jakarta. Lalu hidup sebagai kelas menengah tanggung dengan segala jibakunya. Sebagai perantau, pulang saat Lebaran adalah puncak segala pencapaian Kamil di Jakarta. Apa lacur, beberapa hari sebelum Lebaran Kamil justru dirumahkan gara-gara tempat bekerjanya kehabisan modal karena krisis moneter.

Selanjutnya adalah bagaimana Kamil sebagai kepala keluarga menyampaikan pembatalan rencana mudik yang sudah jauh hari disusun kepada anak-anaknya. Saya ingat bagaimana momen-momen persiapan pulang kampung membuat saya tidak bisa tidur semalaman karena terbayang asiknya naik bus malam, mengabsen lagi tempat-tempat di Pantura yang hanya bisa dilewati setahun sekali, terkantuk-kantuk menikmati sensasi melewati Alas Roban tengah malam dan melihat jejeran kelap-kelip perumahan mewah di Bukit Gombel dari tol, dan sebagainya-dan sebagainya.

Salah satu ciri Umar Kayam adalah kepiawaiannya memasukkan fragmen pengalaman kulinari di setiap ceritanya. Mendiang Bondan Winarno berterima kasih pada sosok Pak Ageng ini atas ungkapan mak nyus yang jadi trademark­­-nya. Saya kutipkan pengggalannya:

“Hidangan buka puasa sore itu terdiri dari agar-agar dingin dengan sirup merah yang manis sekali, risoles dan es teh manis. Kemudian untuk makan malam sup kacang merah dengan daging sekengkel yang jadi kesenangan Kamil dan anak-anak ditambah dengan perkedel kentang dengan isian daging yang cukup tebal. Hanya dua macam itu, tetap Sri sendiri yang sengaja memasaknya. Maka kaldu sup itu juga lebih terasa kental dan mirasa, kacang merahnya juga gemuk-gemuk merah. Dan perkedelnya juga terasa lebih konkret karena banyak dagingnya”

Menjelang Lebaran seingat saya pernah dibuatkan versi film televisinya di FTV SCTV sekitar awal tahun 2000. Judulnya Mudik Tahun Ini dengan pemeran Gito Gilas sebagai Kamil dan Widi Mulia sebagai Sri, istri Kamil. Anda tidak salah, FTV yang sekarang hadir dengan judul dan jalan cerita sama anehnya itu dulu adalah “taman bermain” sineas-sineas terkemuka.

Cerpen ini selalu menemani saya setiap puasa. Sebelumnya saya selalu terhibur dengan gaya tutur Umar Kayam yang “dekat” dengan keseharian hidup juga kepiawaiannya mengundang air liur. Sekarang, saya menjadi lebih bersyukur bernasib lebih baik dari Kamil meski kami sama-sama tidak bisa pulang di Lebaran kali ini….

Rumah Baru (lagi)

https://twitter.com/TweetNikah/status/431593806123655168/photo/1

Hampir setahun ini saya tidak menulis. Menulis yang semata-mata untuk senang-senang dan mengisi waktu luang (juga tambahan nominal di rekening). Klise soal waktu luang yang tergerus urusan mencari nafkah benar-benar menyita. Tapi setelah masuk tahun 2020 ini mood nulis kembali bergelora gara-gara Tuki ngajakin untuk bikin lagi #31HariMenulis yang beberapa tahun silam sempat jadi hype anak-anak kampus, baik yang masih aktif sampai angkatan tua.

Jadi saya putuskan bikin rumah baru saja sekalian. Rumah lama saya yang keren pake dot com segala itu (masjaki.com) saya kubur beserta kenangan-kenangannya. Aslinya sih: lebih sering bayar tagihan hosting daripada posting. Semoga rumah baru ini bisa membuat saya lebih rajin menulis, dan mengurangi kegiatan menyampah di lini masa.

Salam tidak olahraga