Sampai Jumpa Kawanku

“Kalau masih banyak yang menganggap Brian personel baru, Brian ini sudah bergabung selama setengah usia Sheila On 7…” 

Kata-kata itu diucapkan oleh Akhdiyat Duta Modjo di hadapan sekitar 4,500 orang saat Sheila On 7 menggelar Konser ’16th Anniversary’ Sheila on 7 satu dekade lalu di kota kelahirannya, Yogyakarta. Brian Kresno Putro adalah drummer yang bergabung selepas Anton Widiastanto mengundurkan diri beberapa bulan setelah perilisan album keempat Pejantan Tangguh pada tahun 2004. Ia secara resmi masuk dalam line-up band bentukan tahun 1996 itu di album 507 (2006) setelah sebelumnya membantu di rangkaian tur dan album The Very Best of Sheila On 7 (2005). 

Dalam artikel Sebuah Kisah Klasik di Rolling Stone edisi Februari, masuknya Brian ini berada di puncak atau mungkin jurang masa tidak sehat Sheila On 7. Belum selesai luka-luka saat Anton disusul Sakti memutuskan mundur, komunikasi antarpersonelnya pun berantakan. Saking kacaunya, hanya perlu sedikit lagi masalah untuk menyelesaikan kisah klasik Sheila On 7. Brian dalam artikel yang ditulis Hasief Ardiasyah itu mengakui menyimak berbagai komentar soal posisinya sebagai pengganti Anton. Ia mengaku sebagai penggemar karakter permainan Anton. Di lain sisi, ia juga punya ciri khas. Power bak badak menjadi energi di album-album Sheila On 7 selanjutnya hingga rilisan terkakhir single “Film Favorit” yang membuat mereka bersinar dan berpijar seperti dulu kala  setelah sempat beberapa tahun sempat menjadi yang terlewatkan. 

Setelah 18 tahun bergabung, Brian memutuskan mundur. 

Sekitar tahun 2016 saya pernah melakukan interview by phone dengan Brian untuk feature album Kisah Klasik Untuk Masa Depan. Brian bercerita tentang awal mula interaksinya dengan Sheila On 7 sampai akhirnya bergabung selama hampir dua dekade.

— 

Brian Kresno Putro hanya bisa menelan ludah saat pamannya, Ito Nurarito, memberinya sekeping kaset Kisah Klasik Untuk Masa Depan saat berkunjung ke sosok yang jadi panutan sekaligus “guru spiritualnya” dalam bermusik di suatu malam tahun 2001. Ito, yang lebih dikenal dengan nama panggung Ito Punk, adalah pembetot bass merangkap vokalis di grup new wave Punk Modern Band yang seangkatan dengan KLa Project. “Ini album bagus banget,” kata Brian menirukan pamannya. 

Brian, yang saat itu sudah menapaki karir musisi profesional dengan bergabung di grup band Tiket, butuh asupan referensi pamannya untuk masuk ke kancah musik nasional. Saat itu, jelas Brian, tren musik mulai dijangkiti demam band-band acid jazz dan soul seperti The Groove, Brown Sugar, sampai T-Five. “Aku berharap dia bakal ngasih referensi yang lebih bergaya,” ujar Brian yang resmi menduduk kursi drummer Sheila On 7 sejak album 507 ini sembari terbahak.

Keduanya lalu mengadakan hearing session. Untuk pertama kalinya Brian mendengarkan Sheila On 7 secara utuh setelah sebelumnya hanya sambil lalu saja. “Pertama kali aku buka sampulnya saja aku punya feeling aku bakal suka album ini,” ujar Brian. 

Di sampul album garapan rumah desain Indieguerillas dari Yogyakarta ini terpajang foto-foto aktivitas Sheila On 7 saat tur, konser, juga saat sedang berada di studio. “Yang paling aku ingat lagu “Just For My Mom” ada foto Adam dan Eross gitaran bareng-bareng di kursi belakang bis, lalu aku liat ini ciptaan mereka berdua,” jelasnya. 

Menurut Brian, perjalanan tiap lagu bisa direpresentasikan dengan bagus dalam selembar sampul album. Juga adanya foto bersama manajer mereka saat itu, Anton Kurniawan, yang disebut sebagai personel keenam. “Itu bikin musisi jadi contoh kalau band harus menghargai manajernya,” jelas Brian. 

Detail-detail di sampul album masih diingat jelas oleh Brian, termasuk notes yang ditulis Eross saat mengingat saat-saat terakhir bersama mendiang ayahnya. “Ada banyak poin yang bisa mengembangkan imajinasi pendengar dari visual. Kita bisa ngerasain perih dan tegarnya Eross, ada foto misteriusnya Adam. Aku inget semua itu.”

Dari sisi materi lagu, Brian menganggap lagu ini punya materi yang begitu beragam. Mulai dari lagu cinta untuk pacar, ode untuk persahabatan, pesan bagi selingkuhan, sampai penghargaan khusus untuk sosok ibu. “Dulu aku lihat lagu “Just For My Mom” ini kok cemen banget,” katanya sambil tertawa. Namun karena ada kata mom lagu itu dirasa Brian menjadi kuat. Kalau ditulisnya buat darling atau baby itu malah jadi kacau. Kalau mom jadi membuat orang sedewasa apapun akan kembali masa kecilnya dan ingat saat-saat bersama ibunya.”

Tapi justru “Tunjuk Satu Bintang” yang sampai sekarang punya ikatan emosional dengan Brian, juga istrinya. “Waktu itu kita masih pacaran. Suatu saat kita ngobrol bareng tentang tujuan-tujuan hidup. Aku ingat saat itu dia bilang sama aku untuk tunjuk satu pedoman untuk hidup sebagai musisi. Kata-kata coba kau tunjuk satu bintang itu jadi sangat dekat buat aku dan itu sangat berhasil di kehidupanku,” ungkap Brian panjang lebar. 

Menurutnya sampai hari ini lagu itu selalu mengiringi saat ia dan istrinya duduk bersama dan mengevaluasi ulang apa yang sudah mereka dapatkan sejauh ini. “Begitu masuk dari pertama kita udah dibawa jiwanya ke alunan orkestra  buat jalan.”

Tunjuk Satu Bintang

Saking magisnya lagu berdurasi empat menit dan 18 detik itu, Brian mengaku sulit untuk menginterpretasi ulang kala berada di panggung. “Aku selalu jawab “Tunjuk Satu Bintang” tiap ditanya anak-anak, tapi tiap selesai manggung aku selalu merasa kurang karena lagu itu sudah bagus seperti apa adanya,” akunya. 

Sejauh ini Brian baru merasa benar-benar puas membawakan lagu tersebut saat tampil di Rolling Stone Café, Jakarta Selatan pada pentas musik sebuah stasiun TV swasta pada bulan Februari lalu. Padahal Eross melakukan kesalahan saat intro karena luput menyetel nada gitarnya. “Harap dimaklumilah kalau live,” pinta Brian seraya tertawa.

 “Tunggu Aku Di Jakarta” menjadi nomor favorit lain dari sosok yang membantu sideproject Eross di Jagostu ini. Secara aransemen mungkin tidak semewah “Tunjuk Satu Bintang”, namun bagi Brian kekuatannya ada di tema lagu. “Waktu itu jarang ada band yang kasih tema lagu untuk sabar menunggu saat kita sedang berusaha meraih mimpi. Mungkin baru Slank ya yang punya di “Kirim Aku Bunga”. Liriknya cowok banget,” terangnya. 

Sedangkan “Pagi Yang Menakjubkan” diakui Brian memberi semacam tantangan bagi para musisi untuk mengulik sesuai gayanya masing-masing. Untuk deretan lagu-lagu hits dirinya tak banyak berkomentar . “Ibaratnya kamu dalam tahap sudah nggak bisa complaint. Ini album yang akan membuat band lain-lain berharap dapat membuat album seperti ini paling tidak sekali dalam karirnya.”

Sound drum Anton yang khas dan klasik menjadi satu hal penting yang dipelajari Brian di album ini“Saat itu belum banyak band punya ciri khas sound drum yang konsisten dari album ke album. Mas Stephan Santoso menurutku jenius karena waktu itu dia meng-handle band-band lain seperti Padi dan Cokelat tapi bisa mengarahkan karakter sound-nya sesuai karakter band,” papar Brian. Menurut Brian, ini membalikkan perspektif kalau sound engineer hanya manut saja di studio rekaman. “Ternyata sound engineer bisa bikin karakter kuat bagi sebuah band.”

Stephan Santoso, yang diganjar gelar Penata Rekam Terbaik di ajang AMI Awards 2001 untuk ramuannya di album ini, mengaku kalau Kisah Klasik Untuk Masa Depan adalah salah satu album paling mengesankan selama bekerja sebagai peramu rekam profesional. “Album kedua Sheila On 7, itu awal saya dapat teknologi untuk mixing, memadukan softwaredigital dengan analog. Menghasilkan karya bareng Sheila On 7 waktu itu kita dapat banget mood-nya dan materinya juga bagus. Rasanya dapat, secara teknologi juga dapat,” ujar Stephan.

Di tengah-tengah sesi dengar, pamannya tiba-tiba memberi semacam misi. “Brian, kamu coba cari tahu kenalan sama mereka. Seharusnya kamu jadi drummer Sheila On 7,” ungkap Brian. Saat itu Brian hanya sambil lalu saja dengan titah pamannya. Toh, dia sedang sibuk dengan Tiket yang baru saja mengeluarkan album pertama dan belum khatam benar mendengarkan lagu-lagu milik Sheila On 7. Tapi semuanya kemudian berubah begitu cepat.

Tahun 2004 adalah kali pertama Brian terlibat dalam proyek musik bersama personel Sheila On 7 setelah bertemu di ajang Soundrenaline 2003. Adam mengajaknya untuk membantu mengisi drum di album kompilasi Bass Heroes. Latihan pertama dilakukan di studio milik nenek Brian di daerah Tanah Kusir, Jakarta Selatan. Tempat itu  jadi situs bersejarah bagi Brian karena jadi tempat membangun proyek-proyek musiknya sejak ia SMA. “Mulai dari Susu bareng Nikita Dompas sampai Tiket.” 

Di tahun yang sama Brian lulus dari Universitas Atma Jaya, Jakarta dan Tiket dalam masa hiatus. Ia lalu mendapat tawaran pekerjaan sebagai session musician di Kerajaan Brunei Darussalam selama tiga bulan. Setelah beres dari Brunei, Brian belum punya rencana untuk melanjutkan proyek-proyek musiknya. Saat sedang bermalas-malasan di rumah orang tuanya, Adam tiba-tiba datang lewat sambungan telepon, “Bri, kamu mau bantuin anak-anak?.” And the rest is history.

[PLAYLIST] Jogja Berhati Ambyar

Masa SMA sampai kuliah saya dihabiskan di Muntilan dan Jogja, dari tahun 2002 sampai 2010. Dua kota ini menjadi persinggungan saya untuk berbagai hal, termasuk musik.

Tahun 2002 internet belum semasif sekarang. Apalagi di kota kecamatan seperti Muntilan. Hanya ada dua warnet dengan keceptan menyedihkan untuk mengakses internet. Jika ingin berselancar dan main game Counter Strike, biasanya saya ke Magelang atau ke Jogja sekalian. Warnet dengan kualitas cukup baik baru ada di Muntilan sekitar tahun 2005 ketika saya sudah kuliah di Jogja.

Di masa-masa pra-internet itu, referensi utama tentu dari media cetak dan elektronik (televisi dan radio). Beruntung saya tinggal di rumah simbah yang ada di kawasan pusat kota. Selain pakde berlangganan koran pagi, juga ada dua kios majalah yang cukup lengkap. Perpustakaan Daerah juga bisa dijangkau hanya dengan beberapa langkah.

Bagaimana dengan akses musik?

Praktis musik yang saya konsumsi adalah siaran dari radio yang bisa dijangkau. Gelombang siaran radio dari Jogja bisa terjangkau jadi update band-band baru lumayan cepat. Saat itu Jogja sedang mengalami booming band-band baru setelah gegap gempita kesuksesan Endank Soekamti yang baru saja teken kontrak dengan Warner dan Seventeen direkrut Universal. Mengikuti jejak Sheila On 7 dan Jikustik yang sudah lebih dulu mapan. Maka siaran radio waktu itu semarak dengan band-band Kota Pelajar seperti Shaggydog, The Rain, Newdays, Shakey, Bre, Esnanas, Sophie, Stereovila, sampai Gelasplastik.

Di kurun waktu yang sama, di Jakarta dan Bandung sedang terjadi gelombang indie revival jilid dua dengan kemunculan Mocca, Seringai, The Upstairs, dan The Brandals. Klipnya bisa dilihat di MTV. Artikelnya bisa dibaca di majalah Hai di Perpustakaan Daerah (yang biasanya sudah sobek-sobek). Tapi kasetnya tidak tersedia di toko kaset. Mungkin jalur distribusi independen saat itu belum bisa menembus ke second city. Penjualnya saja bingung waktu saya tanya apakah sudah ada album Mocca yang My Diary.

Ketika pindah ke Jogja, warnet mudah ditemui dengan kecepatan juga kenyamanan ruangan yang lebih layak. Ditambah dengan pergaulan di kampus, konsumsi musik saya bisa agak lebih beragam. Bisa dibilang persinggungan saya dengan band-band di luar arus utama banyak terjadi di rentang waktu ini.

Saya mencoba mengingat-ingat lagi beberapa lagu yang menemani masa-masa menunggu balasan SMS dari adik kelas yang itu, puyeng sendiri dengan contekan untuk ujian Fisika, dan memutuskan malam ini mau makan bakmi Kidul Pasar Muntilan atau Tugu Besi sambal curhat soal penolakan untuk yang kesekian kalinya. Andai saja Lebaran tahun ini bisa pulang lagi……

Ke Mertua Aku ‘Kan Kembali

Lika-liku numpang di rumah mertua, pindah ke rumah sendiri, dan harus kembali lagi

Ketika menikah, salah satu bahasan mengemuka selain perihal keputusan untuk punya anak adalah bahasan tentang rumah. Saya dan istri sebelum kami serius ke KUA sudah sepakat : bagaimanapun caranya kami harus hidup mandiri. Entah itu di rumah sendiri atau rumah kontrakan. Setelah berbagai pertimbangan kami putuskan langsung nyicil rumah.

Pilihan mencicil rumah membawa konsekuensi bagi kami untuk tinggal menumpang di rumah orang tua sampai tabungan cukup untuk bayar uang muka. Mungkin Tuhan mendengar doa-doa kami. Hanya selang beberapa hari setelah menikah, saya mendapat rapelan (halo abdi negara…..) yang cukup signifikan untuk modal uang muka. Setelah serangkaian drama pencarian lokasi dan pengajuan kredit, akhirnya Juli 2013 saya resmi mengangsur rumah yang kalau lancar (dan semoga bisa lebih cepat) akan lunas pada tahun 2028. Drama berikutnya dimulai.

Rumah yang saya beli bukan rumah ready stock. Harus dibangun dulu, itu pun tukangnya ngaco sehingga serah terima kunci jadi molor. Sesuai saran dari para tetua, setelah selesai garansi dari developer sebaiknya cari tukang kepercayaan untuk membenahi bagian-bagian yang masih perlu perbaikan.

Beres perbaikan, seharusnya bisa langsung pindahan. Seharusnya kalau uang kami berlimpah buat beli perabotan selengkap-lengkapnya. Persoalannya, tabungan sudah dedel duel buat bayar uang muka plus renovasi. Juga bayar pinjaman lunak ke Bank Perkreditan Kasih Ibu.

Ego saya sebagai lelaki berontak. Bayangan punya rumah sendiri dan mengatur keluarga dengan penuh otoritas (termasuk kebebasan untuk berhubungan suami istri tanpa rikuh) masih harus menunggu waktu. Saya berharap para aktivis kesetaran gender tidak protes dengan keputusan yang saya lakukan selanjutnya.

Suatu malam di bulan Agustus  atau September 2014 (tanggalnya lupa) saya memutuskan pindah ke rumah sendiri. Sendirian tanpa istri setelah pertengkaran cukup hebat gara-gara perbedaan prinsip: saya ingin segera hidup mandiri, istri saya ingin memastikan rumah siap dihuni dengan perabotan yang layak. Atas nama harga diri (asli, kalau dingat-ingat kami berdua cuma tertawa), saya pindah hanya dengan membawa satu tas dan kasur tipis untuk alas tidur. Malam pertama di rumah sendiri, dilewati dengan tidur sendiri. Tapi saya bangga dengan pencapaian ini.

Besoknya kami sudah berdamai dan sepakat untuk pindah. Saat pindah kami hanya membawa satu koper dan satu tas jinjing, yang lalu beranak pinak jadi perabotan yang harus diangkut dengan satu truk engkel dan satu mobil pick-up saat pindahan akhir bulan Februari lalu.

Setiap batu bata, genteng, balok kayu, juga paku yang membangun rumah ini punya cerita sentimentil buat kami.

Rumah kami mungil. Ukurannya bangunannya cuma 46 meter persegi dan tanah 96 meter persegi. Kata orang tua saya yang rumahnya di desanya dua atau tiga kali lipat lebih besar, rumah kami ini adalah rumah keakraban wong bolak-balik harus petukan lagi saking kecilnya ruang gerak. Tapi yang saya suka adalah masih ada sepetak halaman di depan yang saya tanami pohon jambu bol. Pohon jambunya rajin berbuah. Kalau berbuah cukup buat rujakan satu blok sampai perut begah.Di halaman ini ari-ari anak saya dikuburkan beserta potongan tali pusarnya saat puput.  

Saat ada tabungan lagi saya kepikiran untuk merombak sebagian rumah. Waktu itu dapur masih di dalam rumah. Aktivitas masak memasak juga praktis hanya malam hari dan akhir pekan karena kami sama-sama bekerja. Tapi setelah punya anak, istri saya memutuskan untuk total mengurus anak dan rumah tangga sehingga aktivitas memasak jadi lebih sering. Anak juga mulai fase eksplorasi. Riskan juga.

Akhirnya dapur saya pindah ke belakang. Tetangga saya yang baik hati membantu membuatkan desain dan denahnya, menghitung kebutuhan material dan biayanya, sampai merekomendasikan tukang. Saya cukup membayarnya dengan nasi goreng kambing buatan saya sendiri hehehe. Dari dapur baru itu saya jadi senang memasak termasuk iseng-iseng jualan tongseng.

Sampai akhirnya ibu mertua saya masuk rumah sakit dan meninggal dunia pada Agustus 2018.

Istri saya adalah anak tunggal. Bapak mertua saya hidup sendiri. Sebagai menantu saya tidak sampai hati kami tinggal berdua, bercanda seharian di rumah, sementara bapak mertua saya sendirian di rumah. Menatap kosong rumah yang sudah sepi setelah kami pindah, jadi semakin sepi setelah pasangan hidupnya pergi. Keputusan untuk kembali ke rumah mertua langsung kami ambil. Tanpa perdebatan.

Rumah kami putuskan untuk dikontrakkan. Selain supaya terawat juga bisa jadi sumber pendapatan. Kan listrik, air, dan iuran lingkungan juga tetap harus dibayarkan. Setelah barang-barang selesai dipindah, rumah kami perbaiki lagi agar punya nilai tawar yang lebih tinggi.

Tentu masih ada rasa masygul saat meninggalkan rumah. Bagaimanapun ini adalah rumah jerih payah kami. Setiap batu bata, genteng, balok kayu, juga paku yang membangun rumah ini punya cerita sentimentil buat kami. Saya ingat ketika simbah dan pakde bude datang dari Muntilan, Ibu memboyong semua keluarganya itu ke rumah sampai rumah kami jadi penuh sesak. “Biar mereka liat kalo kamu walau dulu waktu SMA dan kuliah numpang di saudara, sekarang bisa hidup mandiri,” kata Ibu.

Tepat setelah saya selesai menandatangani kesepakatan dengan pengontrak yang akan menyewa sampai setahun ke depan, saya memandang kamar kosong yang sudah selesai dicat dan diganti keramiknya. “Lihat ini jadi ingat waktu pertama kali pindah dari rumah mertua. Sekarang kita akan balik lagi ke rumah mertua,” batin saya. Juga dapur baru yang masih belum genap setahun . Tapi ya hidup kan perkara pindah dari satu episode ke episode lain.

Jika sebelumnya kami sering bertengkar gara-gara masalah-masalah kecil, kali ini kami jadi lebih legowo. Bukan semata-mata faktor kondisi yang membuat kami harus nrimo, tapi fase menumpang ini sudah pernah kami jalani sebelumnya. Paling tidak ada pengalaman yang membuat kami jadi lebih dewasa. Terlebih sudah ada si kecil yang sekarang harus jadi prioritas orientasi hidup kami. Jika saat menikah kami masih menyimpan ego masing-masing, bisa dibilang sekarang ego harus dikalahkan demi tujuan yang lebih besar.

Rumah Baru (lagi)

https://twitter.com/TweetNikah/status/431593806123655168/photo/1

Hampir setahun ini saya tidak menulis. Menulis yang semata-mata untuk senang-senang dan mengisi waktu luang (juga tambahan nominal di rekening). Klise soal waktu luang yang tergerus urusan mencari nafkah benar-benar menyita. Tapi setelah masuk tahun 2020 ini mood nulis kembali bergelora gara-gara Tuki ngajakin untuk bikin lagi #31HariMenulis yang beberapa tahun silam sempat jadi hype anak-anak kampus, baik yang masih aktif sampai angkatan tua.

Jadi saya putuskan bikin rumah baru saja sekalian. Rumah lama saya yang keren pake dot com segala itu (masjaki.com) saya kubur beserta kenangan-kenangannya. Aslinya sih: lebih sering bayar tagihan hosting daripada posting. Semoga rumah baru ini bisa membuat saya lebih rajin menulis, dan mengurangi kegiatan menyampah di lini masa.

Salam tidak olahraga