20 Tahun Kisah Klasik Untuk Masa Depan: “Nggak Ada Beban Apapun Saat Rekaman”

Chart MTV Ampuh di Majalah Gadis edisi Oktober 2020 (dokumentasi pribadi)

Tiga personel tersisa dari formasi Kisah Klasik untuk Masa Depan memutar kembali ingatan bagaimana mempersiapkan kelahiran si jabang bayi ajaib yang membawa cah-cah Jogja itu ke pencapaian tertinggi selama karir bermusik mereka. Wawancara dilakukan pada 20 Agustus 2016 selepas mereka menyelesaikan panggung di Bekasi. Tidak ada Brian Kresnoputro malam itu. Drummer gempal bertenaga badak itu tengah dalam masa duka selepas kepergian ibunda tercinta.

(Note: saya menambahkan beberapa fakta tentang lagu-lagu dalam album tersebut yang pada saat wawancara belum terungkap).

Ada beban saat memulai rekaman album ini karena kesuksesan album pertama?

Adam: Ora (tidak) sih, nggak ada beban apapun saat rekaman

Duta:  Aku begitu dengar materinya waktu selesai rekaman, aku punya keyakinan kalau album ini penjualannya bakal bagus.

Eross: Tahun itu kami sangat padat, manggung, lalu di sela-sela manggung bikin rekaman, kadang terpotong. Hampir nggak ada ekspektasi. Kita bener-bener nggak mikir, aku punya mood bikin lagu, ketemu anak-anak, jamming, lalu rekaman. Bahkan nggak ada ketakutan angka penjualan bakal berapa.

Apa yang membuat yakin?

Duta: Saat album pertama sebagai band yang berangkat di Jogja lalu rekaman album di Jakarta, aku belum bisa meraba, belum punya bayangan apa-apa. Aku waktu itu cuma nyanyi lagu yang aku senangi, lagu dari bandku yang aku senangi, ternyata hasilnya bisa seperti itu.  Album kedua ini aku waktu rekaman lebih senang lagi. Di satu sisi aku merasa kemasan musiknya lebih matang tapi secara materi sebenernya nggak jauh berbeda sama album pertama. Itulah kenapa aku punya optimisme yang tinggi. Aku lebih siap untuk rekaman album ini dibanding saat album pertama dulu. Maksudnya merasa lebih punya modal. Aku nggak yakin akan lebih laku tapi paling tidak sama dengan yang pertama.

Sony mematok  target penjualan?

Adam:  Dari Sony begitu terima demo bilang, “Sip, materinya oke” (tertawa).

Berapa lagu yang disetorkan untuk demo album ini?

Duta: Ada belasan sih, album pertama yang lebih banyak. Tapi tetep ada sih yang masuk unreleased.

Adam:  Antara 21 sampai 22 lagu waktu album pertama.

Berapa lama rekaman album ini?

Duta: Sebelum masuk era rekaman di Jogja mulai album 507, kita selalu tertib saat rekaman karena take di Jakarta semua dan ditarget berapa shift harus sudah selesai. Aku lupa, pokoknya antara dua sampai tiga minggu.

Suksesnya album pertama mempengaruhi ke peningkatan di proses produksi album ini?

Eross: Vibe saat rekaman yang album ini lebih tertata, nggak grusah-grusuh (tergesa-gesa).  Album pertama kan shift dibatasi, yang ini lebih bisa eksplor dan bisa minta string section asli. Lebih terkonsep. Dengan fasilitas-fasilitas tadi kita jadi lupa target penjualan.

Duta: Aku bercermin penampilan live-ku sangat kurang. Goal-ku ingin nyanyi di panggung lebih baik. Cuma itu saja yang pengen aku kejar. Kepentingan kita memperbaiki nilai minus belum menampilkan live performance yang baik sebagai band yang kata orang jutaan kopi.

Ada nama-nama terkemuka seperti komposer Erwin Gutawa dan violinist Maylaffayza di album ini. Ini memang permintaan Sheila On 7?

Eross: Ketika ditanya sama Pak Jan siapa yang pengen mengisi string-nya,  nama pertama yang aku pikirkan ya  Erwin Gutawa. Kalau Fayza dulu karena mau dikontrak sama Sony, mungkin buat bridging ke album. Sebetulnya kita lebih butuh suara cewek untuk backing vocal, lalu kita coba Fayza tapi kurang cocok. Justru permainan violin dia ngasih ambience lain di lagu.

Tapi kebutuhan lagunya memang memerlukan nama-nama tadi?

Eross: Kalau itu kita memang ingin pakai string, tapi kita nggak tau siapa komposer yang tepat. Sampai keluar nama Erwin Gutawa ya itu dari Sony.

Cocok dengan lagunya?

Duta: Oh jelas, Erwin Gutawa gitu (tertawa).

Apa personel Sheila On 7 waktu itu mengamati angka penjualan Kisah Klasik Untuk Masa Depan setiap minggu?

Eross: Enggak, mungkin karena jadwal manggung kami yang padat. Tapi setiap dikasih tahu beritanya selalu berita baik. Dulu aku sama Adam pas album pertama yang sering cemas dan ngecek toko kaset karena album pertama itu perjudian. Album kedua istilahnya sudah take-off lah.

Adam : Sebetulnya sudah kelihatan karena begitu dengar berita mau rilis di toko kaset sudah banyak yang pre-order.

Duta: Popeye (toko rekaman fisik terkemuka di Yogyakarta, saat ini sudah tutu-, -red) sudah mulai ada yang pesan pre-order. “Alhamdulillah albummu ki akeh banget sing tuku. Apik banget (Alhamdulillah, albummu banyak yang mau beli, bagus sekali),” kata bosnya Popeye.

Akhirnya album bisa melebihi angka penjualan album pertama. Ada yang berubah dengan kehidupan pribadi personel Sheila On 7?

Duta: Buat kita nggak ada beda. Tapi justru hal itu yang bikin kekurangan kita.

Adam:  Orang-orang ekspektasinya lebih.

Duta: Orang-orang ekskpektasinya kita sudah jadi idola. Ada momen dimana kita harus sadar kita idola, panutan. Bermusik dan segala macam.

Eross: Menurutku jadi overexposed. Akhirnya banyak yang muak tiap denger berita kita. Kita sebetulnya tidak ingin terus diberitakan. Tapi karena kita masih naif, masih lugu banget, setiap ada yang mau wawancara bahkan foto rumah malah kita persilahkan. Baru bisa mikir sekarang harusnya kita nggak perlu ekspos sampai sebegitunya, istilahnya melenceng darri awal yang kita lakukan. Bungkusannya jadi mirip boyband.

Saya amati memang saat itu  Sheila On 7 justru malah sering tampil di majalah remaja putri dan semakin mirip dengan citra sebagai boyband ya?

Adam:  Mungkin pada awal rencananya label memang begitu (tertawa). Ya kalau kita pertama image-nya kan dari daerah.

Duta:  Pada akhirnya anak-anak sadar kalau kita ini pemain band bukan boyband karena kita tahu citra boyband ya sekumpulan cowok-cowok yang nyanyi nggak main alat. Mungkin pandangan itu yang buat anak-anak jadi nggak terlalu nyaman, tapi alhamdulillah anak-anak nggak kemudian jadi sok garang. Ya karena roots-nya Sheila On 7 kan band pop. Kalau cewek-cewek banyak yang seneng kan wajar sama yang indah-indah, yang manis. Tapi anak-anak kemudian sadar kalau kita beda dengan band-band pop lain karena kita juga ada bluesnya, ada rock, gak cuma pop banget. Anton juga ngedrum ada pengaruh jazznya. Jadi yang buat Sheila On 7 unik ya itu. Aku gak pernah kebayang pakai sepatu  boot tinggi. Bukan bermaksud seperti yang itu lho ya (tertawa). Kami tahu diri lah, band kami seperti ini. Kami juga nggak ingin membawa band ini lebih garang.

Eross: Mungkin itu bentuk naifnya kita. Semuanya harusnya lebih bisa disortir. Di usia itu Sheila On 7 lagi berkembang. Ada ledakan musikalitas. Harusnya itu yang lebih diperhatikan oleh kami sendiri dan label.

Publisitas tadi membuat personel terganggu?

Adam: Kalau keluarnya di majalah pria dewasa mungkin kita bingung juga (tertawa).

Duta: Aku waktu itu masih 20 tahun, tenaga masih kuat untuk melakukan apa saja. Passion-nya bener-bener cuma ngeband dan melakukan hal apa saja demi band.

Adam:  Isih turah-turah lah (masih banyak tersisa) tenaganya (tertawa).

Aku baru tahu kalau desain sampul album ini seperti sperma. Jadi filosofinya album ini menyebar kemana-mana.


Biasanya publisitas media yang begitu besar di sisi lain memunculkan pihak-pihak yang tidak suka. Sheila On 7 juga mengalami itu?

Eross: Haters sudah ada dari album pertama. Sejak “Dan…” sudah mulai overexposed. Media sudah menyorot ke kehidupan kami bukan musikalitas. Kami gak menyalahkan siapa-siapa. Semuanya masih serba meraba. Dari band, manajemen, label, juga media. Kalau saat ini sifatnya sudah lebih membangun, ada ktitikus musik yang mengkritik musik kami. Itu yang aku suka. Jadi challenge buat kami.

Duta: Kita orang yang introspeksi diri. Nggak cuma larut lalu kecewa. Kita gali sebenernya apa sih problemnya tapi kita berusaha nggak kemudian kita jadi orang lain juga.

Adam: Waktu aku masuk ke toko kaset di Tunjungan Plaza tiba-tiba aku didatengin orang. Dia bilang musiknya Sheila On 7 itu musik banci sambil kasih jari tengah. Aku kaget banget dan cuma diam saja. Pas anak-anak keluar mereka heran kok mukaku pucat sekali  (tertawa)

Di album Kisah Klasik Untuk Masa Depan ini Sheila On 7 mulai sadar membangun citra dan merk dagang, salah satunya dengan membuat logo band yang dipertahankan sampai album 507. Juga sampul album yang lebih terkonsep. Siapa yang pertama punya ide?

Adam:  Itu dari mas Anton (Anton Kurniawan, -red)  manajer kita waktu itu.

Duta:  Kita memang….tidak punya ide (tertawa). Yang jelas Sheila On 7 berangkat dari band SMA yang memang seneng ngeband. Dibilang kita mikir branding, mikir image , itu jauh banget. Jadi segala hal-hal yang terkait itu dari manajemen dan label sih sebetulnya.

Adam: (menunjuk fotonya di sampul album)  Liat ini nih aku cuma pakai kaos barong Bali (tertawa).

Eross: Logo dan sampul album ini yang bikin Santi dan Otomm dari Indieguerillas. Anak-anak nggak ada masukan apa-apa. Aku cuma bilang ke mas Anton untuk memasukkan foto-foto saat tur ke album karena banyak band yang melakukan itu dan aku suka. Dan ternyata aku baru tahu setelah beberapa tahun kemudian aku baru tahu kalau desain sampul album ini seperti sperma. Jadi filosofinya album ini menyebar kemana-mana.

***

Perbincangan lalu beralih ke pembahasan 12 lagu di album Kisah Klasik Untuk Masa Depan.  Dari jumlah itu Eross hampir memegang kendali penuh dalam penciptaan lagu, termasuk hits single “Bila Kau Tak Disampingku”, “Sahabat Sejati”, dan tentu saja “Sephia”.

Personel Sheila On 7 masih memberikan otoritas untuk menulis keseluruhan lagu?

Eross: Sebetulnya ngalir. Siapa yang ada lagu monggo (silahkan). Cuma kondisi waktu itu buat beberapa personel belum memberi waktu dan ruang  untuk belajar berkembang. Jadwal kita padat sekali. Keluar kamar hotel susah, akhirnya di hotel cuma nonton TV dan makan. Mungkin kalau nggak se-hype itu secara musikalitas saya dan personel lain bisa lebih berkembang. Aku juga nggak menyalahkan.

Waktu saya berkesempatan mewawancarai Sakti, dia bilang kalau lirik kotak sejuta mimpi di “Sahabat Sejati” itu sebetulnya merujuk ke gitarnya. Apa benar?

Dulu aku sering main sama Adam dan Sakti untuk urusan aransemen gitar. Waktu nulis lagu itu aku menujukan buat Duta, Adam, Sakti, dan Anton. Aku dengan lugunya ingin menjalani hidup dengan gitar. Dengan kotak sejuta mimpi aku mendatangi anak-anak kalau aku punya lagu. Waktu itu kita nggak banyak mikir. Lakukan ini semua, tabrak sana-sini. Itu gambaran Sheila On 7 waktu itu.

Mungkin kalau kita terlambat empat atau lima tahun ke Jakarta nggak akan ada lirik senekat itu.  Itu hal-hal lugas sebagai anak muda, nggak mikir jauh. Aku berani ninggalin kuliah karena musik itu sesuatu yang gila karena aku bukan dari keluarga berpunya dan aku cuma berkaca sama musisi sukses saja, bukan sama musisi gagal (tertawa). Aku ingat ngomong ke anak-anak waktu habis ngasih demo pertama, “Kalau demo ini gagal kita akan nyoba lagi untuk kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya.”  Itu spirit yang cuma dipunyai saat personel Sheila On 7 umurnya 20-an.

Kalau saya amati narasi di lirik “Bila Kau Tak Disampingku” mirip dengan “Dan…” ya?

Waktu jeda album sangat pendek jadi masih ada pemanjangan ide dari album pertama. Apa yang nggak sempat aku lakuin di album pertama aku lakuin di album ini. Kalau dilihat notasinya pas reffrain nggak jauh beda dengan “Dan…”, cuma ada variasi di modulasi lagu. Kalau album pertama semua tanpa perubahan tangga nada. Kalau di album ini mulai dari lagu ini ada modulasi. Semuanya lebih ke ledakan musikalitas di chord lagu.

“Sephia” akan jadi pembahasan paling panjang. Sosok Sephia ini cuma simbolisasi saja atau memang nyata?

Ada beberapa (tertawa). Begini, kalau ditanya bagimana aku di tahun 2000 kadang-kadang aku bersyukur sekali sampai hari ini aku masih selamat, punya keluarga yang sangat aku cintai. Bisa saja di tahun itu aku mati karena kecerobohanku. Cuma Tuhan masih sayang sama aku mungkin Dia masih punya misi sama aku. Ya “Sephia” itu bentuk sembrono, menganggap hal sepele memberi nama selingkuhan. Kalau dulu anak nakal dibilang Kancil karena sering mencuri, aku ingin kasih nama selingkuhan itu Sephia supaya suatu hari orang akan menyebut selingkuhannya dengan Sephia walaupun lagu itu pesannya bahwa kisah kita tak akan abadi. Cuma ya anak muda yang sembrono, jadi punya keberanian untuk mengucap selamat tidur kekasih gelapku.

Kenapa harus sefrontal itu?

Karena aku mengeksplorasi. Kalau di album pertama ada hal-hal yang elegan seperti lupakanlah saja diriku di “Dan…”.  Di album kedua aku ingin mencoba yang lebih brengsek dan nekat (tertawa).

Banyak yang kaget karena latar belakang sebagai orang Jawa yang lugu dan juga masih muda untuk bicara tentang kekasih gelap…

Aku waktu itu kalau menulis lagu hampir dipastikan nggak bisa ngarang karena itu aku alamin. Nggak bisa seperti sutradara film yang bisa berimporivisasi dengan cerita. Saat itu aku baru selesai sekolah, masih punya waktu bersosialiasi banyak. Kalau sekarang kalau nggak kerja ya delapan puluh persen waktu aku buat keluarga.

Kapan mulai menyadari kalau Sephia akhirnya jadi icon untuk kekasih gelap?

Aku mulai sadar ketika ada temen main ke rumah tiba-tiba dia nelpon. Waktu aku tanya dia bilang, “Biasa, Sephia” Aku lalu tertawa dan membatin, “It happened.” Akhirnya Sephia selalu jadi pembahasan, entah bagus atau jelek (tertawa.)

Banyak versi tentang asal mula nama Sephia, sebetulnya nama itu dari mana? Apa benar dari hantu yang tiba-tiba menelpon waktu rekaman?

Aku ditanya itu sampai berkali-kali, sampai pada titik aku bertanya balik (tertawa). Jadi  nama Sephia itu didapat waktu sedang tur di kamar hotel ada TV namanya Sophia, cuma waktu itu kalau dikasih nama Sophia malah jadi kayak Sophia Latjuba (tertawa).

Tapi jadi misteri…

Kalau kejadian makhluk halus di studio memang selalu ada. Lali aku opo wae (aku lupa apa saja) (tertawa).

Suara bisik-bisik di awal-awal lagu itu idenya siapa?

Aku. Duta yang take.

Supaya menimbulkan kesan misterius soal sosok Sephia?

Nek kuwi nggo keren-kerenan wae (untuk keren-kerenan saja) (tertawa).

Banyak nama dalam narasi lagu yang Anda ciptakan. Rani, Sephia, Niah, Khaylila, sampai Ibu Linda. Seberapa penting perannya dalam bangunan narasi lagu?

Kadang-kadang ketika dikasih nama orang lebih merasa memiliki ketimbang pakai dia atau kamu. Kayak Bon Jovi pakai Tommy dan Gina. Itu jadi simboliasi orang-orang muda yang berjuang buat hidup. Dan aku berhasilnya dengan Sephia (tertawa).

“Sephia” lalu jadi inspirasi band-band lain untuk membuat lagu bertema hubungan gelap. Bagaimana penilaian Anda?

Tema selingkuh Sebenarnya sebelum “Sephia” mungkin ada, namun mengutarakannya lebih halus tak sefrontal selamat tidur kekasih gelapku. Aku merasa bersalah juga karena mereka bikin lagu tentang selingkuh dan hasilnya cheessy. Saat aku tanya inspirasinya dari Sheila On 7 (tertawa) .

(Note: “Sephia” sebetulnya mempunyai intro yang panjang. Namun karena pertimbangan durasi, intro tadi tidak terpakai dan akhirnya menjadi lagu “Waktu Yang Tepat untuk Berpisah” yang ada di album 07 Des)

Kalau “Just For My Mom” bagaimana pembagian tugasnya dengan Adam?

Kalau kata-kata yang susah itu dari Adam, yang simpel dari aku. Aku nggak punya kapasitas buat bikin lagu dalam bahasa Inggris (tertawa).

Sosok mama sepertinya cukup berpengaruh saat membuat lagu ini? Saya menemukan  lagi sosok mama di lirik mama buat aku terjaga di “Pagi yang Menakjubkan”

Di umur itu aku masih hidup sama mamaku, aku nggak punya obyek lain. Lebih gampang menuliskan tentang dia dibanding orang lain.

Hancurkanlah tempat  tidurku  di “Pagi Yang Menakjubkan” ini dari mana idenya?

Itu diambil dari lagunya Slank yang judulnya “Mau (Beli) Tidur”. Aku bangun lagi dan bakar rokok, kutendang-tendang ranjangku yang bobrok. Dari riff gitar awalnya.

“Sebuah Kisah Klasik” apa juga seperti “Sahabat Sejati” yang bercerita relasi Anda dengan Duta, Adam, Sakti, dan Anton?

Itu dari kehidupan sekolah. Kan biasanya punya geng. Aku selalu menertawakan teman-teman setiap kita mencoba melakukan hal-hal bodoh seperti coba-coba minum. Wis pokoke dino iki seneng-seneng wae, sesuk embuh (pokoknya hari ini senang-senang, besok dipikir nanti saja). Karena hari ini yang membuat kita kangen di masa depan.

Ide memasukkan violin di reffrain dari mana karena membuat dinamika lagu jadi berbeda?

Sebetulnya kita dikasih pemain violin. Sebetulnya part violin  di reffrain itu buat part gitar, tapi kita coba ganti violin. Hasilnya mengejutkan.

“Sebuah Kisah Klasik” jadi semacam cetak biru untuk penulisan lirik-lirik Sheila On 7. Selalu ada optimisme dibalik kesedihan atau perpisahan. Punya misi khusus?

Kalau lirik aku banyak terpengaruh dari Bon Jovi dan The Cure, tapi cinta pertamaku soal lirik itu Slank. Di Bon Jovi banyak lirik-lirik soal optimisme seperti “Wild In The Streets” atau “Blood On Blood” yang menginspirasi ke lagu seperti “Sahabat Sejati”. Aku jadi seperti bikin versiku sendiri walaupun gagal dan nggak mirip (tertawa). Tapi kalau lagu ini berhasil bikin orang semangat artinya sama kayak Bon Jovi yang menginspirasi aku.

Saya sampai saat ini masih kagum dengan pemilihan frasa kisah klasik untuk masa depan. Bisa diceritakan bagaimana mendapatkannya?

Sampai sekarang aku kalau bikin lagu awalnya dari rasa. Dari rasa itu lalu dicari kata-kata yang tepat. Waktu bikin lagu ini aku rasanya ingin bikin lagu tentang perpisahan. Membicarakan hal yang indah hari ini buat besok. Akhirnya jadilah kisah klasik untuk masa depan. Waktu itu banyak pilihan, tapi kisah klasik untuk masa depan yang menurutku paling oke.

Mengapa harus Jakarta yang jadi pilihan untuk “Tunggu Aku di Jakarta”, bukan Bandung atau Surabaya misalnya?

Itu sebetulnya materi album pertama. Aku waktu itu punya pacar tinggal di Jakarta, sesimpel itu. Dan memang kalau kamu punya mimpi tapi belum menaklukkan Jakarta sepertinya belum sah. Apalagi di bidang musik. Label disana semua, studio rekaman disana semua. Jadi nggak ada pilihan kota lain. Aku waktu itu belum tahu scene musik di kota lain seperti Bandung apakah saat itu diakui seperti Jakarta. Jadi mindset-ku  saat itu Slank, Dewa 19 ya di Jakarta.

Kenapa tak ada lirik di sampul albumnya?

Itu aku nggak tau (tertawa).

“Tunjuk Satu Bintang” terinspirasi dari mana?

Itu dari lagunya The Cure. Aku lupa judulnya.

(Note: “Tunggu Aku Di Jakarta” dan “Tunjuk Sau Bintang” sebetulnya sudah direkam untuk materi album pertama. Namun karena Duta merasa tidak percaya diri dengan suaranya, ia meminta Stephan Santoso yang menjadi penata rekam untuk menyimpan saja lagu itu. Versi yang berada di album “Kisah Klasik…” adalah versi asli saat rekaman album pertama, tanpa proses re-take)

Bintang sepertinya jadi kata favorit dalam penulisan lirik karena saya juga menemukan di “Temani Aku” ?

Itu hal yang simpel. Dari anak kecil sampai orang dewasa ketika menyebut bintang konotasi katanya adalah hal-hal yang baik. 

Selain kata hebat dan tangguh ya?

Itu juga. Aku kepengen ketika bikin lagu orang punya semacam booster dari lagu itu.

Mengapa intro “Karena Aku Setia” menampilkan suasana seperti peperangan?

Ketika aku bikin intro-nya aku kebayang ada hal heroik. Saat itu yang terpikir adalah ada suara helikopter, suara perang. Istilahnya bela negara karena kamu setia sama negara. Pokoknya heroik (tertawa).

“Selamat Tidur” memang diset sebagai penutup?

Iya. Kalau aku dengar album Mellon Collie and the Infinite Sadness-nya Smashing Pumpkins kan track akhirnya lagu akustik.

Siapa Reka Wahab yang jadi backing vocal di lagu tersebut?

Anaknya Dimas Wahab, bapaknya anak-anak Bragi, yang paling kecil. Dia suka main-main ke studio sambil bawa camilan impor. Nah pas dia take camilannya dimakan sama anak-anak (tertawa).

“Bertahan Disana” yang tak dimasukkan album ini tapi muncul di album The Very Best of Sheila On 7: Jalan Terus seperti memperlihatkan Anda menikmati aktivitas tur panjang dengan band?

Lirik itu memang dari situ. Nggak mungkin aku bisa bikin lirik itu tanpa aku ngalamin itu. Liriknya sebetulnya lebih pas ke album ini.

Bagaimana pola penentuan hits single? Ada negosiasi antara band dengan label?

Kalau di era itu nggak ada nego pokoknya kita nurut aja. Semua single yang piih Pak Jan.

Penggarapan video klip juga mengikuti label?

Kita ikut saja sama konseptornya dan waktu diterangin kita cuma manggut-manggut, oke…oke… (tertawa).

Ada notes yang menggambarkan relasi personal antara anda dan mendiang ayah. Apa yang ingin disampaikan?

Ini untuk pertama kalinya aku merasa ada orang yang dekat di lingkungan kamu dan dia berguna buat hidup kamu. Buatku itu fase pertamaku jadi seorang lelaki. Ternyata suatu hari kita harus fight sendiri. Dan aku baru bisa lega setelah menulis “Lapang Dada” karena di era ini aku serba meraba semua. Ada perasaan ganjil tapi aku belum tahu menulis seperti apa. Banyak yang belum terjawab dan itu semua baru terjawab setelah aku punya anak.

***

Adam Muhammad Subarkah kembali menulis lagu di album ini setelah di album pertama menulis “Terlintas Dua Kata”. Ada dua lagu yang ditulis bassist bertubuh gempal ini. Pertama adalah “Lihat, Dengar, Rasakan” serta “Just For My Mom” yang digarap bersama Eross.

“Just For My Mom” kenapa liriknya berbahasa Inggris?

Aku ingatnya bikin di rumah Sakti. Eross ada ide untuk membuat lagu dengan referensi dari Bon Jovi, Oasis, Extreme, Skid Row, Metallica, Red Hot Chilli Pepper, semuanya lah. Apalagi aku sempat tinggal di luar negeri. Kelihatannya lirik bahasa Inggris keren walau setelah dibaca lagi agak kacau (tertawa). Aku berpikir kata mom lebih keren dari mama atau ibu. Dicampur dengan chord lalu diaransemen di studio. Intinya menggambarkan peran ibu. Kita waktu itu masih bocah, anak mama. Lagi susah ibu selalu ada buat kita.

Di “Lihat, Dengar, Rasakan” liriknya menyiratkan permohonan pada Tuhan untuk mudahkan hidupnya, hiasi dengan belai-Mu. Ada pengalaman spiritual khusus yang melatarbelakangi lagu ini karena di album sebelumnya Anda menulis soal putus cinta di “Terlintas Dua Kata” ?

Aku punya mbak yang biasa bantu di rumah. Dia punya anak dengan kebutuhan khusus. Anaknya senang musik, sering aku putarkan VCD musik, dan senang main gitar juga. Suatu saat aku pas berhenti di perempatan lampu merah ada anak yang  ngamen, pas aku buka kaca mobil ternyata dia. Dia malu terus langsung pergi dan nggak pernah datang ke rumah.

Berarti dia di dia telah berdiri coba berlari merujuk ke anak itu?

Iya, intinya aku cuma ingin mengajak orang lain ingat orang yang kekurangan.

Relasi dengan sosok anak ditampilkan lagi di “My Lovely” yang ada di album Musim Yang Baik ya?

Kalau “My Lovely”  itu personal banget karena itu untuk anak pertamaku. Aku kagum dengan anakku yang harus menjalani operasi besar. Kita sebagai orang tua khawatir dengan kondisinya, tapi dia berhasil melewati dengan kuat. Dia melihat adik-adiknya dengan main bebas. Karena kakinya masih pemulihan, dia lalu menggambar. Makanya ada kata-kata  tersenyum jari menari.

Tapi bertemu problematika masa muda lagi ya di “Bapak-Bapak” yang ada di album 07 Des?

Ah itu banyak kan yang mengalami seperti itu (tertawa). Berhadapan dengan orang tua pacar kan ada yang mulus ada yang enggak. Kalau saya alhamdulillah nggak pernah ada masalah apa-apa.

2 thoughts on “20 Tahun Kisah Klasik Untuk Masa Depan: “Nggak Ada Beban Apapun Saat Rekaman”

Leave a comment