Henky Solaiman dan Daftar Menu Itu

Aktor senior Henky Solaiman meninggal dunia pada Jumat (15/5) karena penyakit kanker usus. Sebagai aktor senior, Henky Solaiman justru lebih banyak dikenal dengan penampilannya sebagai aktor pembantu. Salah satunya di film-film Warkop DKI. Ada beberapa judul, saya lupa. Tapi yang saya ingat adalah penampilannya di “Saya Suka Kamu Punya”.

Disutradarai Tommy Burnama, film rilisan tahun 1987 ini berkisah tentang Dono, Kasino, dan Indro yang berprofesi sebagai pemain wayang orang di sanggar milik Dudung Hayo. Ternyata tanah tempat gedung pementasan sedang diincar oleh Gozali (Didik Mangkuprojo). Dono, Kasino, dan Indro mesti berhadapan dengan centeng-centeng Gozali (Doyok, Simon P.S), tapi Kasino malah jatuh cinta dengan Yayuk, sekretaris Gozali.

Banyak scene favorit saya di film yang naskahnya ditulis Dono dan Baron Achmadi ini, termasuk saat Dono mentraktir kawan-kawannya makan di restoran. Pelayan restoran, diperankan dengan komikal oleh Henky Solaiman, menawarkan dua menu andalan: La Grenggo Plaestina Burnaskopen dan La Titite Honansa Soreang Gagarumpi.

La Grenggo Palestina Burnaskopen adalah campuran sayur (kangkungnya dari Siberia, jamurnya dari pegunungan Himalaya) dan daging (bebek dari Shanghai dicampur daging kura-kura dari kepulauan Hawaii). Semua dimasak jadi satu dengan api arang dari pulau Fiji. Ditambah garam lokal sedikit dari pulau Madura.

Sementara menu keduanya La Titite Honansa Soreang Gagarumpi tidak kalah seram. Berupa daging gajah Afrika yang hampir punah, dicampur daging rusa belahan Kutub Utara, ditambah daging panda dari pedalaman Cina. Semua disiram dengan anggur dari Prancis sebagai bumbu peninggalan jaman kaisar Napoleon yang terkenal itu, plus sari madu bunga tulip dari Holland dan tiga tetes madu lokal dari pulau Sumba.

“Ini makanan apa flora dan fauna?,” kata Dono.

Tapi mereka malah tidak jadi makan karena Dono kaget melihat harga makanannya dan beralasan teringat tetangganya ada yang mati setelah makan di restoran mewah. Ya kan, Ndro? Bah, mana aku tahu. Pandai-pandai kau saja, rumah kau pun di mana aku tak tahu apalagi tetangga kau. Mana ada urus aku…..

Aksan Disini Untukmu

Diskusi tentang album terbaik dalam diskografi Dewa 19 mengerucut pada tiga album: Terbaik Terbaik (1995), Pandawa Lima (1997), dan Bintang Lima (2000). Masing-masing tentu punya pilihannya sendiri, tapi bagi saya Pandawa Lima adalah puncak pencapaian artistik.

Terbaik Terbaik adalah album artsy. Transisi dari formula dasar di dua album pertama ke bentuk-bentuk eksperimental. Bintang Lima selain sukses dari segi penjualan juga berhasil meyakinkan pendengar bahwa mengganti vokalis yang nyaris jadi simbol itu bukan hil yang mustahal.

Pandawa Lima adalah pengecualian. Secara penjualan, meski disebut menggembirakan namun angkanya masih di bawah Bintang Lima. Dari nilai artistik, tipikal lagunya banyak yang lempeng dan terdengar monoton. Bukan lagu-lagu dengan tonjokan keras seperti “Cukup Siti Nurbaya” atau serumit “Restoe Boemi”. Tapi Pandawa Lima punya aura yang berbeda dengan dua album tadi. Aura penuh teka-teki, dingin, kelam, liyan, misterius, dan menciptakan kadar mistisnya sendiri.

Meminjam istilah seorang anggota judi bola, ada seorang pemain pembeda. Bukan Dhani dan Andra yang dikultuskan. Lain pula Erwin yang pengaruh signifikannya pernah saya bahas. Orang itu adalah Aksan Sjuman.

Butuh dua drummer bagi  Dewa 19 menemukan kepingan huruf W setelah hengkangnya Wawan Juniarso.  Rere Reza (Grassrock, ADA Band, Blackout) dan Ronal Fristianto (GIGI, dr.pm, Evo) bergantian mengisi part drum di Format Masa Depan. Rere kemudian menjadi pemain tunggal di Terbaik Terbaik. Sampai datanglah Aksan ke Dewa 19 lewat rekomendasi Ronal yang ingin lebih fokus bersama GIGI.

Aksan datang dengan curriculum vitae nan mentereng: sarjana musik dari Folkwang Hochschule, Essen, Jerman; pernah membantu penggarapan album V milik KLa Project bersama Rere (KLa dan Dewa 19 ternyata punya irisan sejarah yang menarik, akan saya bahas lain waktu. Terima kasih Mas Budi untuk trivia-trivia pengisi buka puasanya); punya kemampuan kustomisasi instrumen musik; dan berwajah ganteng sebagai bintang film Kuldesak kemudian iklan Kratingdaeng. Sebuah paket komplit.

Putra sineas terkemuka Sjumandjaja dan maestro balet Farida Oetojo ini kemudian diberikan nama panggung Wong Aksan untuk melengkapi W yang selama dua album dibiarkan tak bertuan. Cerita lengkapnya bisa disimak dalam wawancara Shindu Alpito dengan Aksan Sjuman .

Masuknya Aksan menandai babak baru proses kreatif. Album-album Dewa 19 sebelumnya adalah adu pengaruh fusion dengan rock  yang kemudian mulai berbelok ke jalur alternatif di Terbaik Terbaik. Di Pandawa Lima, semua referensi personal mendapat tempat secara layak dan proporsional. Termasuk jazz yang dibawa oleh Aksan yang hadir lewat ketukan-ketukannya yang tak tertebak.

Andil Aksan bukan hanya sekadar di gebukan drum yang perkakasnya ia rancang sendiri. Ia berandil pada modulasi di bangunan aransemen “Kirana” sehingga lagu semonoton itu tiba-tiba jadi punya dinamika yang bekerja dengan caranya yang begitu unik.

Fun fact, bagian melodi gitar Andra baru dipikirkan masuk dalam proses mixing tahap berikut di studio Doel Sumbang di Bandung setelah dibawa ke Jerman dan Jakarta dan lagu itu mau tidak mau di­-take ulang. Andra perlu tiga jam hanya untuk mencari setelan sound yang pas untuk gerungan “nggggggeeeeeengg…” yang ada di intro dan beberapa bagian lagu buatan Erwin dan Dhani ini. Mungkinkah Dhani sengaja memeram lagu ini sampai tiga tahun hanya untuk menemukan komposisi tim serta momentum perilisan yang pas?

Lanjut ke track berikut. Aksan berkontribusi pada chord di bagian interlude “Aku Disini Untukmu” selain cara masuknya yang begitu ganjil pada lagu yang video klipnya dibintangi supermodel Tamara Bleszynski. Seperti yang dilakukannya pada “Cindi”. Bedanya, di “Cindi” Aksan masuk dengan cara yang lebih frontal.

“Sebelum Kau Terlelap” menjadi monumen peninggalan Aksan mengingat suratan tangan Aksan di Dewa 19 hanya Tuhan dan Dhani yang paham. Lagu ini ibarat relationship goals untuk Erwin yang mengepalai departemen rhythm section di Dewa 19. Hal ini mengingat drummer-drummer Dewa 19 sebelum dan sesudah Aksan lebih condong membawa semangat powerful dari rock alih-alih menekankan pada harmoni dan improvisasi dari jazz dan fusion. Simak detail-detail isian Aksan yang begitu lihai mengisi celah-celah kosong.

Pada nomor penutup “Kamulah Satu-Satunya”, Aksan sebetulnya mencoba legowo dengan kuatnya pengaruh Gin Blossoms yang dibawa anak-anak Dewa terutama Erwin. Namun dia mencoba memberi dinamika lain lewat pola-pola permainan dari session drummer terkemuka asal Amerika Serikat, Jim Keltner.

Lewat sindikasi pertemanan Jerman-nya, Aksan mengenalkan Dewa 19 dengan Wolf D. Arndt yang kemudian bertanggungjawab melakukan mixing bersama Dhani dan Aksan di studionya di Jerman. Variasi pada intro “Aku Disini Untukmu” berasal dari saran Wolf ke Andra. Jasa Wolf kemudian dipakai juga oleh KLa Project untuk melakukan mixing pada album Klasik (2000) yang menjadi titik balik perjalanan Katon, Lilo, dan Adi. Dalam titiannya ke Jerman itu, kawan Aksan yang lain yaitu Jorg Lenhardt mengisi seluruh bagian gitar dengan synthesizer di “Suara Alam”. Sementara temannya yang bernama Konich mengisi bagian puisi abstrak berbahasa Jerman di pertengahan lagu “Bunga”.

Dalam waktu singkat, Aksan memberikan kontribusi yang begitu signfikan yang membuat Pandawa Lima mempunyai nilai otentik. Tapi sesingkat itu pula masa tugasnya. Karena pukulannya yang dianggap terlalu ngejazz, Aksan dipecat oleh Dhani. Keluarnya Aksan ini menandai eksodus besar-besaran di tubuh Dewa 19 setelah Ari Lasso dan Erwin mundur untuk penyembuhan dari ketergantungan terhadap narkotika. Namun dalam wawancara panjang terakhirnya bersama Shindu tadi Aksan menjawab diplomatis bahwa ada dinamika lain yang berubah di tubuh band jika dibandingkan dengan fase-fase awal masuknya ke Dewa 19.

Namun apapun itu, Aksan telah membuat Pandawa Lima punya pencapaian tersendiri yang tidak bisa dicapai oleh seluruh album dalam rak katalog Dewa 19 sampai hari ini.

[PLAYLIST] Jogja Berhati Ambyar

Masa SMA sampai kuliah saya dihabiskan di Muntilan dan Jogja, dari tahun 2002 sampai 2010. Dua kota ini menjadi persinggungan saya untuk berbagai hal, termasuk musik.

Tahun 2002 internet belum semasif sekarang. Apalagi di kota kecamatan seperti Muntilan. Hanya ada dua warnet dengan keceptan menyedihkan untuk mengakses internet. Jika ingin berselancar dan main game Counter Strike, biasanya saya ke Magelang atau ke Jogja sekalian. Warnet dengan kualitas cukup baik baru ada di Muntilan sekitar tahun 2005 ketika saya sudah kuliah di Jogja.

Di masa-masa pra-internet itu, referensi utama tentu dari media cetak dan elektronik (televisi dan radio). Beruntung saya tinggal di rumah simbah yang ada di kawasan pusat kota. Selain pakde berlangganan koran pagi, juga ada dua kios majalah yang cukup lengkap. Perpustakaan Daerah juga bisa dijangkau hanya dengan beberapa langkah.

Bagaimana dengan akses musik?

Praktis musik yang saya konsumsi adalah siaran dari radio yang bisa dijangkau. Gelombang siaran radio dari Jogja bisa terjangkau jadi update band-band baru lumayan cepat. Saat itu Jogja sedang mengalami booming band-band baru setelah gegap gempita kesuksesan Endank Soekamti yang baru saja teken kontrak dengan Warner dan Seventeen direkrut Universal. Mengikuti jejak Sheila On 7 dan Jikustik yang sudah lebih dulu mapan. Maka siaran radio waktu itu semarak dengan band-band Kota Pelajar seperti Shaggydog, The Rain, Newdays, Shakey, Bre, Esnanas, Sophie, Stereovila, sampai Gelasplastik.

Di kurun waktu yang sama, di Jakarta dan Bandung sedang terjadi gelombang indie revival jilid dua dengan kemunculan Mocca, Seringai, The Upstairs, dan The Brandals. Klipnya bisa dilihat di MTV. Artikelnya bisa dibaca di majalah Hai di Perpustakaan Daerah (yang biasanya sudah sobek-sobek). Tapi kasetnya tidak tersedia di toko kaset. Mungkin jalur distribusi independen saat itu belum bisa menembus ke second city. Penjualnya saja bingung waktu saya tanya apakah sudah ada album Mocca yang My Diary.

Ketika pindah ke Jogja, warnet mudah ditemui dengan kecepatan juga kenyamanan ruangan yang lebih layak. Ditambah dengan pergaulan di kampus, konsumsi musik saya bisa agak lebih beragam. Bisa dibilang persinggungan saya dengan band-band di luar arus utama banyak terjadi di rentang waktu ini.

Saya mencoba mengingat-ingat lagi beberapa lagu yang menemani masa-masa menunggu balasan SMS dari adik kelas yang itu, puyeng sendiri dengan contekan untuk ujian Fisika, dan memutuskan malam ini mau makan bakmi Kidul Pasar Muntilan atau Tugu Besi sambal curhat soal penolakan untuk yang kesekian kalinya. Andai saja Lebaran tahun ini bisa pulang lagi……

Pada Sepiring Tongseng

Dagangan tongsengku. Masak kalau lagi mood saja.

Kambing sebetulnya bukan pilihan populer dalam hidangan berbasis daging-dagingan. Bau prengus dan ketakutan kolesterol membuat orang seringkali minder dan takut duluan untuk menyantap hewan satu ini.

Tapi bukankah hidup itu perkara keberanian mengambil risiko? Untuk pemegang prinsip gaya hidup sehat, saya tidak memaksa untuk membaca habis tulisan ini. Untuk yang suka nyerenpet bahaya, silakan kalau mau lanjut.

Olahan kambing yang populer di jajanan rakyat Indonesia umumnya hadir dalam bentuk sate, sop, gulai, nasi goreng, atau tongseng. Menu terakhir ini bisa dibilang sangat segmented. Tongseng hanya hadir di warung olahan kambing yang penjualnya berasal dari wilayah Jawa Tengah bagian tengah terutama di wilayah bekas Karesidenan Solo serta Kedu (Magelang), dan Yogyakarta. Di luar teritorial itu tongseng tidak familiar.

Bakul-bakul dari wilayah tadi biasanya menjual sate, gulai (dilafalkan gule), dan tongseng sebagai satu kesatuan. Beberapa menambahkan versi turunannya seperti tengkleng, kicik, sate goreng, atau nasi goreng. Tapi menu-menu tadi dibahas lain waktu saja, masih ada 28 hari ke depan. Sayang dong kalau dibahas semuanya.

Tongseng sebetulnya adalah fusi dari sate dan gule. Bisa disebut sate yang dimasak dalam kuah gule.Bisa juga gule yang ditumis dengan potongan daging dari sate. Terserah memaknainya bagaimana. Yang jelas esensi dari tongseng adalah di kuah gule-nya. Dan ini bagian yang paling menyita waktu.

Mempersiapkan kuah gule artinya menyediakan waktu untuk mengolah tulang kambing sebagai dasar kaldu. Favorit saya adalah tulang bagian paha yang masih banyak sumsumnya. Saya biasa beli 20 ribu rupiah di tukang daging kambing langganan di pasar Empang, Bogor. Kalau mau lebih berlemak, tambahkan gajih saat menumis bumbu basah.

Selanjutnya, mengolah bumbu. Gule yang dipakai untuk tongseng adalah gulai gagrak Minang yang lebih dekat ke Arab bukan gulai ala Aceh yang condong ke kari India. Tapi tentunya disesuaikan dengan lidah Jawa yang perlu rasa manis di mana pun dan tidak terbiasa dengan rempah yang terlalu menonjok. Bumbu yang saya pakai biasanya bawang merah, bawang putih, cabe merah, kunyit, jahe, dan kencur yang dhialuskan sebagai bumbu basah. Untuk bumbu keringnya lada, pala, jintan, adas, cabe puyang, kayu manis, dan pekak. Kalau repot menghaluskan bumbu kering, beli saja five spices powder alias bubuk lima rempah alias ngo hiong di supermarket. Ada merk Koepoe-Koepeoe (liarkoe terbanglah bersamaku…) atau Jay’s yang agak mahalan dikit. Kalau mau lebih creamy, tambahkan kemiri yang sudah dihaluskan. Buat penyempurna, tambahkan sereh.

Terakhir, santan. Ada santan instan tapi berdasar trial and error lebih baik pakai santan asli saja. Pedagang-pedagang kelapa parut di pasar biasanya  menyediakan dalam kemasan plastik seliteran. Tinggal tuang. Lebih kental dan lebih legit.

Kemudian masak pelan-pelan di api kecil. Kalau mau lebih merasuki, masak pakai arang. No debate.

Kuah gule siap maka 70 persen tongseng sudah selesai. Selebihnya tinggal memasak potongan daging.

Buat saya tongseng yang benar adalah tongseng yang brutal. Artinya potongan dagingnya tidak harus se-grandeur sate yang kadang harus bebas lemak. Dalam tongseng, semua bagian kambing yang bisa dimakan itu artinya bisa diolah. Makanya saya memberi kredit khusus untuk warung-warung tongseng yang secara by default menyediakan daging, koyoran, sampai jeroahan seperti Tongseng Pak Jaman di Wonogiri, Tongseng Pak Kurdi di Mendut, Magelang, atau Tongseng Mirah “Yono” di Muntilan. Bahkan pelir kambing jantan pun disediakan untuk pembeli yang mau pesan. Bagian ini juga akan saya ulas terpisah saja, sayang dong kalau dikeluarkan sekarang.

Tongseng Mirah “Yono” Muntilan. Dokumentasi Pribadi

Setelah itu tinggal merajang bawang merah, bawang putih, dan cabai merah tergantung seberapa kuat tahan dengan kepedasan. Sekali lagi, tongseng adalah hidangan nyerempet bahaya. Makin pedas, makin sempurna. Tumis semuanya perlahan lalu guyur pelan-pelan dengan kuah gule. Tambahkan kecap manis.  Jangan lupa dengan bubuhan sayuran seperti kol dan tomat muda. Sayuran ini untuk menetralkan segala aktivitas-aktivitas ekstrim tadi.

Ngomong-ngomong istilah tongseng itu muncul dari mana?

Beberapa Warisan Erwin Prasetya untuk Dewa 19

Dewa 19 formasi album Pandawa Lima. Sumber foto: Dokumentasi Majalah Hai

Dewa 19 selalu dianggap sebagai manifesto dari dua sosok: Dhani dan Andra. Anggapan ini boleh jadi karena selain pengaruhnya yang dominan, praktis tinggal dua orang inilah personel yang masih berjalan beriringan. Jika Andra dianggap sebagai penerjemah kemauan-kemauan si Master Mister, maka ada sosok Erwin Prasetya sebagai penyeimbang dari ego-ego besar Dhani.

Album Terbaik Terbaik dan Pandawa Lima yang berurutan perilisannya adalah pencapaian artistik dari Dewa 19. Dan Erwin memberi pengaruh yang signifikan. Di Terbaik Terbaik, album yang menurut Ari Lasso dibuat dalam keadaan hampir semua personil termasuk session player-nya teler, Erwin memberikan pernyataan personal yang kuat di “Cukup Siti Nurbaya”. Erwin membangun sebuah pondasi untuk menopang kegilaan aransemen rajutan Dhani. Permainan bass-nya yang melodius meliuk-liuk dengan mulus dan elegan. Bagian interlude adalah bagaimana Erwin menjadi sosok hangat yang menaungi keliaran permainan Andra.  Sama seperti yang dilakukan dalam “Restoe Boemi”, Erwin menjadi sosok kawan santun yang tahu diri dan memberi alas nan nyaman bagi Dhani.

Pandawa Lima menjadi puncak sumbangsih Erwin. Album rilisan tahun 1997 ini dibuka dan ditutup dengan hits single yang kesemuanya berhutang besar pada kontribusi Erwin: “Kirana” dan ‘Kamulah Satu-Satunya”.  Keduanya diaransemen oleh Erwin dengan lirik ditulis Dhan

Kehadiran “Kirana” adalah sebuah anomali saat muncul pertama kali di tahun 1997. Bagaimana lagu gloomy, dingin, dan ganjil itu justru kencang menguasai airplay program musik di televisi dan chart radio. Sedangkan “Kamulah Satu-Satunya” seperti memberi sasmita akan perubahan aransemen Dewa 19 di album berikutnya yang lebih ngerock. Pengaruh Gin Blossoms terlihat cukup dominan.

Erwin juga punya andil besar dalam “Sebelum Kau Terlelap”. Erwin seperti menemukan jodoh yang tepat sebagai penjaga tempo dalam gebukan jazzy nan kental dari Aksan .

Tapi jalan pemikiran Ahmad Dhani siapa yang tahu?

Formasi ini bukan jaminan untuk dipertahankan. Ari dan Erwin keluar karena narkotika. Sementara Aksan dipecat karena perkara terlalu ngejazz. Meski Erwin akhirnya kembali di Bintang Lima dan Cintailah Cinta, situasi sudah berubah. Dhani terlalu kuat dan Erwin terpental keluar dengan cara yang ironis: gara-gara sinetron.

* Tulisan ini adalah versi singkat obituari Erwin Prasetya yang meninggal dunia hari Sabtu (2/5), untuk Pop Hari Ini.